ISLAM DAMAI
v Pembukaan
Islam adalah agama yang Rahmatan
lil ‘Alamin, pernyataan tersebut mungkin dapat diterima oleh sebagian golongan, di sisi lain
akan menjadi perdebatan yang tidak akan ada hentinya. Perdebatan tentang
nilai-nilai agama Islam terkait perdamaian, bukan hanya terjadi bagi non-Islam,
namun hal ini terjadi pula pada ummat Islam itu sendiri. Munculnya aksi-aksi
kekerasan yang berlandaskan agama akan lebih sulit untuk diselesaikan, daripada
kekerasan baik yang berbentuk perang saudara maupun perang kolektif yang tidak
mengatasnamakan agama. Hal ini sangatlah wajar karena dalam beragama pasti memiliki
asas absolut terhadap agama yang dianut, yakni meyakini bahwa agama yang dianut
adalah agama yang muthlak kebenarannya.
v Islam di Era Rasulullah saw.
Jika kita mau menengok ke zaman Rasulullah saw., pasti akan kita
temukan nilai-nilai kedamaian yang mulai beliau tanam di Jazirah arab. Terdapat
banyak hal yang beliau lakukan untuk bisa memanusiakan manusia sebagaimana
mestinya, seperti menghilangkan perbudakan, beliau melakukan perubahan ini
dengan cara evolutif yakni secara bertahap. Oleh karena itu, jika kita relasikan dengan hukum syar’i maka
akan kita temukan bahwa diantara hukum Islam seperti qisash, diat, kafarat maka
akan kita jumpai salah satu alternatif hukumannya yakni dengan “Ithqu
Raqabatin” atau memerdekakan budak,
setidaknya hal ini bisa dijadikan sebagai petunjuk yang kuat, bahwa dalam Islam telah menghilangkan
nilai-nilai ketidakadilan, dan meminimalisir konflik-konflik.
Dalam pemerintahan, beliau memberikan sebaik-baiknya teladan bagi para
pemimpin yang ada sampai saat ini, ketika beliau memutuskan sesuatu, beliau
sangat mempertimbangkan berbagai aspek yang ada, meskipun beliau berstatus status
sebagai imam al-anbiya’(pemimpin para Nabi) namun beliau terbuka dengan
segala usulan yang diberikan oleh para sahabat-sahabatnya, seperti dalam
permusyawaratan, kegiatan ini telah dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum dan
sesudah menjadi kepala pemerintahan, hal ini menunjukkan betapa tingginya
perhatian Rasulullah terkait keadilan.
Meskipun Islam pada saat itu sebagai agama minoritas, namun
asas-asas perdamaian dan nirkekerasan telah ditunjukkan, terlebih ketika dalam
medan peperangan. Jika kita ulas begitu banyak perang yang dilakukan oleh umat
Islam tanpa membunuh salah seorang musuhpun yang telah mengucapkan syahadat,
tidak membabi buta dalam menyerang, tidak pula membunuh anak kecil dan
perempuan. Hal ini berlaku baik saat perang sariyyah maupun ghazwah.
Pada akhirnya etika seperti ini tidak bisa kita temukan, jangankan
untuk berperang, pada saat ini banyak kelompok yang melakukan pemboman massal
di tempat-tempat tertentu, tanpa melihat siapa korban dan akibat yang dilakukan,
mereka meligitimasi apa yang telah dilakukan hanya atas nama jihad dan tanpa
ada penyerangan terlebih dahulu oleh orang non-islam. Jadi apakah Islam yang
salah atau muslim sekarang yang sudah berubah? Jika Rasulullah saw. masih hidup
sampai sekarang, maka akan kita temukan satu sosok yang sangat menentang
terhadap perbuatan-perbuatan sebagian orang muslim saat ini.
v Faktor-faktor penyebab munculnya
konflik dalam Islam
a.
Hilangnya
makna pluralitas keagamaan yang sebenarnya.
Beberapa golongan atau sekte-sekte dalam Islam pasti memilki
berbagai paradigma keagamaan yang berbeda-beda, namun dalam hal ini penulis mandapati
setidaknya terdapat 3 paradigma keagamaan:
1.
Eksklusif : ketika kaum dari agama tertentu mengakui
bahwa tidak ada agama yang benar kecuali agama yang dianutnya dan menafikan
secara menyeluruh kebenaran dari agama-agama yang lannya. Dalam pembahasan yang
pertama ini lebih sering mengarah kepada QS. Al-Baqarah (120):
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ
وَلَا نَصِيرٍ (120)
Padahal
jika kita telusuri asbabunn nuzulnya
ayat ini yakni ketika turunnya perintah Allah swt. untuk memindahkan
arah kiblat dari baitul maqdis ke arah Baitullah di Makkah dan tidak ada
keterkaitannya dengan segala aspek yang berkaitan dengan segala bentuk
intervensi dan diskrimanasi kepada non muslim.
2.
Inklusif : ketika seseorang mengakui kebenaran
yang dianutnya dan tidak menerima kemungkinan adanya kebenaran dari agama-agama
yang lainnya, dalam hal ini bisa dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah (62):
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى
وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)
3.
Pluralis : suatu pandangan yang menyatakan bahwa
semua agama itu sama, dan pandangan ini membunyai sedikit banyak persamaan
dengan pemikiran kaum Atheis.
Dalam hal ini banyak sekte-sekte yang meyakini kebenaran paham yang
dianutnya secara absolut dan menafikan yang lainnya, selanjutnya penulis akan
memberikan gambaran pluralisme dari “Bapak Pluralisme”.
Gus Dur sebagai bapak pluralisme
Menurut
Gus dur Islam adalah suatu agama yang bersifat eksklusif yang berarti
hukum-hukumnya yang ushul tidak dapat di intervansi, namun beliau juga
mempunyai ide tentang pribumisasi Islam, dalam hal ini banyak yang kontra dengan pandangan beliau, padahal
sebenarnya beliau telah memberikan paradigma baru yang sangat sesuai dengan
keadaan yang ada, beliau mengatakan bahwa Islam di Indonesia selayaknya harus
sesuai dengan kebudayaan dan adat yang ada, hal ini ditolak keras oleh para
pengikut paham konservatif yang meyakini bahwa Islam harus sejalan dengan nilai
ajarannya.
Padahal
maksud Gus dur disini yakni hanya merubah masalah furu’ bukan masalah ushul
atau yang menyangkut keyakinan, maka bisa kita dapati bagaimana walisongo
menyebarkan agama Islam di tanah jawa dengan cara memodifikasi ajaran Islam
yang bersifat Furu’ yang tidak sampai merubah terhadap makna yang ushul.
Seperti Sunan Muria yang menciptakan tembang Sinom dan Kanti sebagai sarana
untuk menyebarkan agama Islam, di daerah Tuban terdapat Sunan Bonang yang
menyebarkan agama Islam dengan menggunakan gamelan dan wayang, karena didaerah
jawa masyarakatnya sangat menyukai hal tersebut.
Saat
ini bisa kita temukan Islam nusantara yang tidak lain selaras dengan pandangan
beliau tentang pribumisasi Islam dan sangat sesuai dengan konteks kekinian yang
mana manusia tidak bisa menerima pemaksaan namun kejumudan yang harus dirubah.
Maka masih pantaskah menyalahkan
pemikiran beliau?
Salah
satu goresan karya hidup beliau tentang nilai keberagaman dan keberagamaan
perlu kita contoh, bagaimana beliau dapat memahami betul nilai toleransi,
menghormati non-Islam, dan bersikap adil bagi semua orang karena dalam
pandangan beliau semua manusia adalah sama, seperti ketika beliau mensahkan
agama konghwuchu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, padahal jika
beliau mau, pada saat itu sangatlah
mugkin untuk menghilangkan agama tersebut dari negeri ini, beliau sangat
memahami betul tentang pentingnya keberagaman dan keberagamaan.
karena
tidak selamanya kebenaran berperilaku hanya milik orang Islam, orang
non-Islam juga berpeluang melakukan kebaikan melebihi orang muslim. Oleh karena
itu sebagai muslim hendaknya mau
mengoreksi kesalahan yang ada pada dirinya, tidak hanya menJudgment terhadap orang lain yang
belum tentu bersalah, seebagaimana yang telah kita rasakan akhir-akhir ini.
Seperti yang terdapat dalam salah satu tulisan
beliau yang berjudul Bersumber Dari Pendangkalan, Gus Dur menulis:
“Harus
kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak
menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu
bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap
langkah-langkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan
berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru
(reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi
atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi
yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah
“agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan.”
b.
Memahami teks kegamaan hanya secara parsial
Hal ini
sangat erat kaitannya dengan beberapa golongan yang memahami agama secara
konservatif tanpa memperhitungkan unsur-unsur yang lain sebagai laju kehidupan
manusia, seperti halnya makna jihad yakni:
“Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S 9:20)
Pada
dasarnya semua ayat dalam al-Qur’an tidak menggunakan kata Jihad sebagai bentuk
peritah perang. Adapun dalam memahami ayat ini, tidaklah cukup hanya berdasarkan pada bunyi teksnya saja, namun
harus melihat makna historis yang
terkandung didalamnya, ayat
tersebut merujuk kepada muslim makkah yang disiksa sedemikian rupa dan memaksa
mereka berjuang di jalan Allah swt. untuk mempertahankan keyakinan dan
apa yang dimikinya. Orang yang mempunyai harta dapat menafkahkan hartanya untuk
berperang, jadi berperang pada hakikatnya bukan untuk balas dendam, namun
mempertahankan apa yang seharusnya dimiliki. Jika yang menjadi tujuan adalah balas dendam maka tidak
aka bedanya dengan anak kecil yang mementingkan dirinya.
Perihal
perbedaan pandangan dan sikap dalam mengambil hukum serta penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an, bagi penulis sangat didasari oleh perbedaan paham kelompok-kelompok
Islam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Syi’ah, bagi golongan mu’tazilah yang dikenal sebagai
golongan al-A’dl wa at-Tauhid, menganggap bahwa akal adalah pusat dari
segalanya, maka dalam mengambil hukum mereka akan lebih condong kepada
pemahaman daripada dalil naql (nash) karena bagi mereka, manusia dapat
memamai al-Qur’an dengan akal. Sedangakan kelompok yang lain, yakni kelompok
Asy’ariyah, mereka meyakini bahwa sumber pemahaman adalah dalil naql dan bukan
akal, jadi dalam beristinbath, kelompok Asy’ariyah lebih mengarah kepada makna
literal sedang Mu’tazilah tidak demikian.
Adapun
kelompok Syi’ah, mereka memiliki paham tersendiri mengenai masalah Imamiyah
atau kepemimpinan, bagi mereka yang
berhak menjadi Imam adalah keturunan sayyidina Ali, hal ini tidak bersifat
muthlak sebab kelompok Syi’ah ini mempunyai beberapa sekte lain yang memiliki
paham keagamaan yang berbeda. Meskipun secara umum Syi’ah meyakini Al-Quran dan
Hadits sebagai sumber Islam, namun menafikan otoritas qiyas dan ijma’ yang
disisi lain dijadikan oleh kelompok Asy’ariyah sebagai salah satu metode
istimbath hukum, maka tidak heran jika
akan muncul multi tafsir dalam satu permasalahan, dan ini yang seharusnya
dipahami secara menyeluruh dan menghilangkan sifat fanatik buta kepada kelompok
atau madzab yang diikuti.
v Teori tentang perdamaian
Louis Kriesberg berpendapat dalam kitabnya yang berjudul Constructive
Conflicts: From Escalation to Resollution, bahwa konflik-yang terjadi
merupakan hal yang natural bagi semua umat manusia-bisa diselesaikan, baik
dengan cara destruktif maupun konstruktif. Dalam penyelesaian konflik secara
damai dan konstruktif beliau membaginya menjadi 3 mekanisme, yakni: mekanisme
internal kelompok, mekanisme antar kelompok, dan mekanisme eksternal (kelompok
luar). Jika 3 mekanisme itu dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan akan
menjadi mekanisme intra-agama, mekanisme inter-agama dan mekanisme luar agama.
1.
Mekanisme
internal
Dalam mekanisme intra:agama
(internal) menititk beratkan penyelesaian konflik berdasarkan nilai-nilai dasar
dari agama itu sendiri, maka dalam hal ini dapat berwujud pengembangan etika
dan memunculkan spiritualitas baru bagi pemeluk agama Islam yang mengarah
kepada perdamaian. Dalam hal ini dibutuhkan pemisahan antara wilayah jihad dan
wilayah resolusi damai, karena dalam teks-teks agama Islam baca: al-Qur’an dan
hadits, selain membicarakan perdamaian akan kita temukan banyak dalil-dalil
ijtihad yang dijadikan tameng bagi golongan-golongan
scipturalistic dalam penyelesaian konflik-konflik yang ada. Mekanisme ini dapat
teraplikasikan baik secara teoritik seperti reinterpretasi terhadap dar
al-Islam yang dapat berarti “negeri yang damai” atau “kebebasan beragama”
dan tidak hanya mengabsolutkan maknanya sebagai “negara Islam”. Ataupun secara
aplikatif seperti permusyawaratan dan dialog-dialog multikultural yang mancakup
perbedaan madzab dan sekte dalam Islam. Selain itu pengendalian yang dilakukan
oleh para tokoh dan pemimpin agama kepada pengikutnya tentang penyelesaian
konflik yang damai juga termasuk dalam bagian ini.
2.
Mekanisme
internal antar kelompok
Kebanyakan umat Islam hidup dalam komunitas masyarakat yang
majemuk, yang menjadikannya secara langsung bersinggungan dengan agama-agama
yang lain. Dalam hubungan sosial setiap harinya akan sangat berpengaruh
terhadap mekanisme perdamaian. Hal ini bisa dimulai dalam lingkungan sosial
yang paling kecil yakni keluarga, dimana keluarga tidak memberikan
batasan-batasan yang membatasi anggota keluarganya untuk berinteraksi dengan
orang non-Islam, lebih lanjutnya dalam mekanisme inter-agama ini lebih
menekankan kepada sikap tenggang rasa, adil dan kasih sayang kepada non-Islam.
Sikap ini selayaknya dapat diterapkan ketika masuk dalam lingkungan organisasi, baik yang
bersifat domestik maupun non domestik, karena seperti yang kita ketahui bahwa
konflik-konflik yang muncul sering tejadi ketika dalam memutuskan sesuatu tidak
berlandasakan pada sifat keadilan namun sikap subjetifitas kepada seluruh
orang, terutama yang beda agama.
Padahal Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah memberikan
teladan bagaimana cara menyelasaikan konflik, terutama konflik dalam lingkup
kepemerintahan yakni mereka yang ketika memimpin selalu mengutamakan
unsur-unsur kemashlahatan bagi semua orang, maka dalam menyelesaikan masalah,
bisa dilakukan oleh kedua pihak atau jika tidak bisa maka dilakukan oleh pihak
yang ketiga atau lebih dikenal dengan meditasi, maka oleh karena itu dalam
Islam sudah dikenal dengan nama dewan Syura yang bertugas sebagai tempat
perundingan terhadap setiap masalah yang ada. Dalam al-qur’an telah dikekankan akan pentingnya bersikap
damai, kasih sayang serta menghargai satu sama lain.
3.
Mekanisme
eksternal
Setiap bangsa pasti memiliki salah satu agama yang mendominasi,
maka tak heran jika sebagian agama; lebih kecil lagi ke ranah sekte-sekte yang
bertebaran dibanyak negara, maka tak heran jika masing-masing negara mempunyai
suatu hal yang wajib untuk diikuti bagi penduduknya dan hal ini bisa menafikan
adat yang berlaku bagi orang non pribumi, selain itu efek yang disebabkan hal
demikian sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan yang ada, mungkin hal ini
yang menyebabkan sebagian sekte Islam ingin menetapkan kekhilafahan berlaku
lagi, sebagaimana yang ada di masa awal perkembangan Islam. Namun hal demikian
tidak akan bisa mendamaikan dunia, namun hanya akan memperkeruh konflik-konflik
yang terjadi saat ini. Selayaknya kesubjektifan masing-masing agama harus tetap
menetapkan satu landasan yang bersifat terbuka bagi agama lain yang tidak lain
terkait dengan kebebasan berkeyakinan dan memilih yang bersifat muthlaq bagi
setiap insan yang bernyawa.
v Prinsip-prinsip perdamaian
Ø Mengupayakan keadilan
Bisa
dikatakan bahwa faktor ketidakadilan sosial adalah salah satu faktor yang
biasanya selalu hadir dalam setiap konflik yang ada, dalam hal ini terdapat
perbedaan yang jauh berbeda antara orang Islam dengan orang barat, dimana orang
barat tidak mengarahkan pondasi pemikirannya berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang ada, namun lebih kepada
hubungan politik baik antar negara Islam maupun non-Islam. Jika kita lihat dalam al-Qur’an dan hadits maka akan kita
temukan bahwa semua ayat dan matan hadits tidak ada yang mengarahkan kepada
kekerasan dan ketidakadilan.
Mengutip
pendapat dari Abu nimer, bahwa semua madzab hukum sepakat tentang keadilan
ilahiyah adalah Islam, keadilan Ilahiyah disini adalah keadilan yang hakiki.
bagi penulis ajaran islam yang terkait dengan beribadatan tidak akan bisa disalahkan,
namun pada satu sisi hal itu bisa berubah atau diperingan yang disebabkan oleh
beberapa hal. Dalam menetapkan keadilan, selayaknya bagi setiap orang; bukan
hanya pemimpin, dapat menghilangkan
sifat kesubyektifan yang ada pada dirinya, dan mencoba sebisa mungkin untuk
mengapikasikan keadilan ilahiyah yang menjadi nilai-nilai ajaran Islam.
Ø Nirkekerasan
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya menghadapi setiap masalah
tanpa menggunakan kekerasan dan lebih mengarah kepada permusyawaratan, prinsip ini
yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai landasan dalam menghadapi
konflik-konflik yang terjadi. Hal ini dapat didasari karena biasanya kekerasan
yang muncul disebabkan adanya sikap melawan yang melebihi kebutuhan, serta
tidak adanya keinginan untuk mencari damai. Seperti halnya konflik tragis
antara suku dayak dan suku madura, hal ini berlangsung hampir 1 tahun, dalam
kasus ini selain karena ada faktor-faktor tertentu yang menjadi penyebab
terjadinya peristiwa tersebut, juga disebabkan karena tidak adanya keinginan
untuk melakukan permusyawaratan dan penyelesaian tanpa kekerasan, dalam prinsip
ini terkait dengan sikap keadilan yang terdapat di paragraf sebelumnya.
Ø Tindakan pasifisme
Tindakan pasifisme bisa dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan
oleh seseorang yang merasa pasrah terhadap setiap masalah yang ada, hal ini
bisa dikarenakan tidak adanya kemampuan untuk melawan. Seperti halnya yang
dilakukan oleh kaum Palestina yang mana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
melawan negara Israel yang menghilangkan perdamaian ditanah mereka. Hal
ini biasanya memunculkan para mujahid untuk membela kaum pasifisme, jadi
yang menentang bukanlah obyek dari kekerasan tersebut, namun pihak ketiga-lah
yang menjadi perisai untuk melawan kelompok yang superior.
Ø Pemahaman tentang dasar keyakinan
Dewasa ini sering kita
temukan konflik-konflik, baik yang
terdorong keinginan individu maupun unsur-unsur dari luar, seperti dalam
hal penistaan agama yang akhir-akhir ini muncul, saat itu seakan-akan semua
muslim menjadi seorang mufassir, maka timbullah konflik-konflik yang mengatas
namakan agama. Dalam hal ini terdapat dua cermin yang saling berlawanan, satu
sisi ingin mensucikan ajaran agama Islam namun satu sisi akan merusak pondasi
ajaran Islam itu sendiri. Maka
diperlukan pemahaman yang mendalam terkait apa yang seharusnya diselesaikan. Karena
bagaimanapun, kebenaran dari suatu konflik tidak akan bisa sama jika dilihat
dari satu pandangan yang lain, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu Islam
telah mengajarkan untuk selalu bertabayyun sebelum melakukan sesuatu.
v Bagian penutup
Sejatinya tindakan kekerasan maupun nirkekerasan yang terjadi
sangatlah dipengaruhi oleh agama itu sendiri, karena ajaran-ajaran yang ada
merupakan bentuk aplikatif dari teori-teori teks keagamaan (al-Qur’an dan
Hadits), dalam Islam selalu menekankan terhadap sikap Tawassuth, ‘Adil,
Kasih sayang dan Cinta Damai. Teks keagamaan saat ini tidak bisa selalu
menjadi subjek dalam pengkajian, namun harus bisa menjadikan teks tersebut
sebagai objek yang non-tekstual, namun kenyataannya dalam memahami sesuatu kita
kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan kondisi sekarang serta sumber
makro dan mikronya. Masalah ini
merupakan tugas kita bersama untuk mengembalikkan tujuan asli diturunkannya
al-Qur’an dan Hadits sebagai The Elementary Source, yang didukung dengan
ijtihad serta nilai mashlahah mursalah bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya
perdamaian yang terjadi tidak hanya terkait dengan agama Islam, karena setiap
agama dapat berperan mengembangan perdamaian di dunia ini. Sekian terima
kasih.
Oleh: Moh. Nailul Muna
(Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar