Kamis, 09 Maret 2017

ISLAM DAMAI (Teori-teori perdamaian dan signifikansinya bagi umat Islam)

ISLAM DAMAI

v  Pembukaan
Islam adalah agama yang  Rahmatan lil ‘Alamin, pernyataan tersebut mungkin dapat  diterima oleh sebagian golongan, di sisi lain akan menjadi perdebatan yang tidak akan ada hentinya. Perdebatan tentang nilai-nilai agama Islam terkait perdamaian, bukan hanya terjadi bagi non-Islam, namun hal ini terjadi pula pada ummat Islam itu sendiri. Munculnya aksi-aksi kekerasan yang berlandaskan agama akan lebih sulit untuk diselesaikan, daripada kekerasan baik yang berbentuk perang saudara maupun perang kolektif yang tidak mengatasnamakan agama. Hal ini sangatlah wajar karena dalam beragama pasti memiliki asas absolut terhadap agama yang dianut, yakni meyakini bahwa agama yang dianut adalah agama yang muthlak kebenarannya.
v  Islam di Era Rasulullah saw.
Jika kita mau menengok ke zaman Rasulullah saw., pasti akan kita temukan nilai-nilai kedamaian yang mulai beliau tanam di Jazirah arab. Terdapat banyak hal yang beliau lakukan untuk bisa memanusiakan manusia sebagaimana mestinya, seperti menghilangkan perbudakan, beliau melakukan perubahan ini dengan cara evolutif yakni secara bertahap. Oleh karena itu,  jika kita relasikan dengan hukum syar’i maka akan kita temukan bahwa diantara hukum Islam seperti qisash, diat, kafarat maka akan kita jumpai salah satu alternatif hukumannya yakni dengan “Ithqu Raqabatin” atau  memerdekakan budak, setidaknya hal ini bisa dijadikan sebagai petunjuk yang kuat,  bahwa dalam Islam telah menghilangkan nilai-nilai ketidakadilan, dan meminimalisir konflik-konflik.
Dalam pemerintahan, beliau memberikan sebaik-baiknya teladan bagi para pemimpin yang ada sampai saat ini, ketika beliau memutuskan sesuatu, beliau sangat mempertimbangkan berbagai aspek yang ada, meskipun beliau berstatus status sebagai imam al-anbiya’(pemimpin para Nabi) namun beliau terbuka dengan segala usulan yang diberikan oleh para sahabat-sahabatnya, seperti dalam permusyawaratan, kegiatan ini telah dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum dan sesudah menjadi kepala pemerintahan, hal ini menunjukkan betapa tingginya perhatian Rasulullah terkait keadilan.
Meskipun Islam pada saat itu sebagai agama minoritas, namun asas-asas perdamaian dan nirkekerasan telah ditunjukkan, terlebih ketika dalam medan peperangan. Jika kita ulas begitu banyak perang yang dilakukan oleh umat Islam tanpa membunuh salah seorang musuhpun yang telah mengucapkan syahadat, tidak membabi buta dalam menyerang, tidak pula membunuh anak kecil dan perempuan. Hal ini berlaku baik saat perang sariyyah maupun ghazwah.
Pada akhirnya etika seperti ini tidak bisa kita temukan, jangankan untuk berperang, pada saat ini banyak kelompok yang melakukan pemboman massal di tempat-tempat tertentu, tanpa melihat siapa korban dan akibat yang dilakukan, mereka meligitimasi apa yang telah dilakukan hanya atas nama jihad dan tanpa ada penyerangan terlebih dahulu oleh orang non-islam. Jadi apakah Islam yang salah atau muslim sekarang yang sudah berubah? Jika Rasulullah saw. masih hidup sampai sekarang, maka akan kita temukan satu sosok yang sangat menentang terhadap perbuatan-perbuatan sebagian orang muslim saat ini.
v  Faktor-faktor penyebab munculnya konflik dalam Islam
a.       Hilangnya makna pluralitas keagamaan yang sebenarnya.
Beberapa golongan atau sekte-sekte dalam Islam pasti memilki berbagai paradigma keagamaan yang berbeda-beda, namun dalam hal ini penulis mandapati setidaknya terdapat 3 paradigma keagamaan:
1.    Eksklusif    : ketika kaum dari agama tertentu mengakui bahwa tidak ada agama yang benar kecuali agama yang dianutnya dan menafikan secara menyeluruh kebenaran dari agama-agama yang lannya. Dalam pembahasan yang pertama ini lebih sering mengarah kepada QS. Al-Baqarah (120):
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120)
Padahal jika kita telusuri asbabunn nuzulnya  ayat ini yakni ketika turunnya perintah Allah swt. untuk memindahkan arah kiblat dari baitul maqdis ke arah Baitullah di Makkah dan tidak ada keterkaitannya dengan segala aspek yang berkaitan dengan segala bentuk intervensi dan diskrimanasi kepada non muslim.
2.    Inklusif       : ketika seseorang mengakui kebenaran yang dianutnya dan tidak menerima kemungkinan adanya kebenaran dari agama-agama yang lainnya, dalam hal ini bisa dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah (62):
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62)

3.        Pluralis        : suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua agama itu sama, dan pandangan ini membunyai sedikit banyak persamaan dengan pemikiran kaum Atheis.
Dalam hal ini banyak sekte-sekte yang meyakini kebenaran paham yang dianutnya secara absolut dan menafikan yang lainnya, selanjutnya penulis akan memberikan gambaran pluralisme dari “Bapak Pluralisme”.
Gus Dur sebagai bapak pluralisme
Menurut Gus dur Islam adalah suatu agama yang bersifat eksklusif yang berarti hukum-hukumnya yang ushul tidak dapat di intervansi, namun beliau juga mempunyai ide tentang pribumisasi Islam, dalam hal ini banyak yang  kontra dengan pandangan beliau, padahal sebenarnya beliau telah memberikan paradigma baru yang sangat sesuai dengan keadaan yang ada, beliau mengatakan bahwa Islam di Indonesia selayaknya harus sesuai dengan kebudayaan dan adat yang ada, hal ini ditolak keras oleh para pengikut paham konservatif yang meyakini bahwa Islam harus sejalan dengan nilai ajarannya.
Padahal maksud Gus dur disini yakni hanya merubah masalah furu’ bukan masalah ushul atau yang menyangkut keyakinan, maka bisa kita dapati bagaimana walisongo menyebarkan agama Islam di tanah jawa dengan cara memodifikasi ajaran Islam yang bersifat Furu’ yang tidak sampai merubah terhadap makna yang ushul. Seperti Sunan Muria yang menciptakan tembang Sinom dan Kanti sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam, di daerah Tuban terdapat Sunan Bonang yang menyebarkan agama Islam dengan menggunakan gamelan dan wayang, karena didaerah jawa masyarakatnya sangat menyukai hal tersebut. 
Saat ini bisa kita temukan Islam nusantara yang tidak lain selaras dengan pandangan beliau tentang pribumisasi Islam dan sangat sesuai dengan konteks kekinian yang mana manusia tidak bisa menerima pemaksaan namun kejumudan yang harus dirubah. Maka  masih pantaskah menyalahkan pemikiran beliau?
Salah satu goresan karya hidup beliau tentang nilai keberagaman dan keberagamaan perlu kita contoh, bagaimana beliau dapat memahami betul nilai toleransi, menghormati non-Islam, dan bersikap adil bagi semua orang karena dalam pandangan beliau semua manusia adalah sama, seperti ketika beliau mensahkan agama konghwuchu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, padahal jika beliau mau, pada saat itu sangatlah  mugkin untuk menghilangkan agama tersebut dari negeri ini, beliau sangat memahami betul tentang pentingnya keberagaman dan keberagamaan.
karena tidak selamanya kebenaran berperilaku hanya milik orang Islam, orang non-Islam juga berpeluang melakukan kebaikan melebihi orang muslim. Oleh karena itu sebagai muslim hendaknya mau  mengoreksi kesalahan yang ada pada dirinya, tidak hanya  menJudgment terhadap orang lain yang belum tentu bersalah, seebagaimana yang telah kita rasakan akhir-akhir ini.
Seperti yang terdapat dalam salah satu tulisan beliau yang berjudul Bersumber Dari Pendangkalan, Gus Dur menulis:
“Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu bagaimanakah cara kaum muslimin dapat mengadakan koreksi terhadap langkah-langkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan.”
b.      Memahami teks kegamaan hanya secara parsial
Hal ini sangat erat kaitannya dengan beberapa golongan yang memahami agama secara konservatif tanpa memperhitungkan unsur-unsur yang lain sebagai laju kehidupan manusia, seperti halnya makna jihad yakni:
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S 9:20)
Pada dasarnya semua ayat dalam al-Qur’an tidak menggunakan kata Jihad sebagai bentuk peritah perang. Adapun dalam memahami ayat ini, tidaklah cukup hanya  berdasarkan pada bunyi teksnya saja, namun harus melihat makna historis yang  terkandung  didalamnya, ayat tersebut merujuk kepada muslim makkah yang disiksa sedemikian rupa dan memaksa mereka berjuang di jalan Allah swt. untuk mempertahankan keyakinan dan apa yang dimikinya. Orang yang mempunyai harta dapat menafkahkan hartanya untuk berperang, jadi berperang pada hakikatnya bukan untuk balas dendam, namun mempertahankan apa yang seharusnya dimiliki. Jika yang  menjadi tujuan adalah balas dendam maka tidak aka bedanya dengan anak kecil yang mementingkan dirinya.
Perihal perbedaan pandangan dan sikap dalam mengambil hukum serta penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bagi penulis sangat didasari oleh perbedaan paham kelompok-kelompok Islam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Syi’ah, bagi  golongan mu’tazilah yang dikenal sebagai golongan al-A’dl wa at-Tauhid, menganggap bahwa akal adalah pusat dari segalanya, maka dalam mengambil hukum mereka akan lebih condong kepada pemahaman daripada dalil naql (nash) karena bagi mereka, manusia dapat memamai al-Qur’an dengan akal. Sedangakan kelompok yang lain, yakni kelompok Asy’ariyah, mereka meyakini bahwa sumber pemahaman adalah dalil naql dan bukan akal, jadi dalam beristinbath, kelompok Asy’ariyah lebih mengarah kepada makna literal sedang Mu’tazilah tidak demikian.
Adapun kelompok Syi’ah, mereka memiliki paham tersendiri mengenai masalah Imamiyah atau  kepemimpinan, bagi mereka yang berhak menjadi Imam adalah keturunan sayyidina Ali, hal ini tidak bersifat muthlak sebab kelompok Syi’ah ini mempunyai beberapa sekte lain yang memiliki paham keagamaan yang berbeda. Meskipun secara umum Syi’ah meyakini Al-Quran dan Hadits sebagai sumber Islam, namun menafikan otoritas qiyas dan ijma’ yang disisi lain dijadikan oleh kelompok Asy’ariyah sebagai salah satu metode istimbath hukum, maka tidak heran  jika akan muncul multi tafsir dalam satu permasalahan, dan ini yang seharusnya dipahami secara menyeluruh dan menghilangkan sifat fanatik buta kepada kelompok atau madzab yang diikuti.
v  Teori tentang perdamaian   
Louis Kriesberg berpendapat dalam kitabnya yang berjudul Constructive Conflicts: From Escalation to Resollution, bahwa konflik-yang terjadi merupakan hal yang natural bagi semua umat manusia-bisa diselesaikan, baik dengan cara destruktif maupun konstruktif. Dalam penyelesaian konflik secara damai dan konstruktif beliau membaginya menjadi 3 mekanisme, yakni: mekanisme internal kelompok, mekanisme antar kelompok, dan mekanisme eksternal (kelompok luar). Jika 3 mekanisme itu dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan akan menjadi mekanisme intra-agama, mekanisme inter-agama dan mekanisme luar agama.
1.      Mekanisme internal
            Dalam mekanisme intra:agama (internal) menititk beratkan penyelesaian konflik berdasarkan nilai-nilai dasar dari agama itu sendiri, maka dalam hal ini dapat berwujud pengembangan etika dan memunculkan spiritualitas baru bagi pemeluk agama Islam yang mengarah kepada perdamaian. Dalam hal ini dibutuhkan pemisahan antara wilayah jihad dan wilayah resolusi damai, karena dalam teks-teks agama Islam baca: al-Qur’an dan hadits, selain membicarakan perdamaian akan kita temukan banyak dalil-dalil ijtihad yang dijadikan tameng bagi  golongan-golongan scipturalistic dalam penyelesaian konflik-konflik yang ada. Mekanisme ini dapat teraplikasikan baik secara teoritik seperti reinterpretasi terhadap dar al-Islam yang dapat berarti “negeri yang damai” atau “kebebasan beragama” dan tidak hanya mengabsolutkan maknanya sebagai “negara Islam”. Ataupun secara aplikatif seperti permusyawaratan dan dialog-dialog multikultural yang mancakup perbedaan madzab dan sekte dalam Islam. Selain itu pengendalian yang dilakukan oleh para tokoh dan pemimpin agama kepada pengikutnya tentang penyelesaian konflik yang damai juga termasuk dalam bagian ini.
2.      Mekanisme internal antar kelompok
Kebanyakan umat Islam hidup dalam komunitas masyarakat yang majemuk, yang menjadikannya secara langsung bersinggungan dengan agama-agama yang lain. Dalam hubungan sosial setiap harinya akan sangat berpengaruh terhadap mekanisme perdamaian. Hal ini bisa dimulai dalam lingkungan sosial yang paling kecil yakni keluarga, dimana keluarga tidak memberikan batasan-batasan yang membatasi anggota keluarganya untuk berinteraksi dengan orang non-Islam, lebih lanjutnya dalam mekanisme inter-agama ini lebih menekankan kepada sikap tenggang rasa, adil dan kasih sayang kepada non-Islam. Sikap ini selayaknya dapat diterapkan ketika masuk  dalam lingkungan organisasi, baik yang bersifat domestik maupun non domestik, karena seperti yang kita ketahui bahwa konflik-konflik yang muncul sering tejadi ketika dalam memutuskan sesuatu tidak berlandasakan pada sifat keadilan namun sikap subjetifitas kepada seluruh orang, terutama yang beda agama.
Padahal Rasulullah saw. dan para sahabatnya telah memberikan teladan bagaimana cara menyelasaikan konflik, terutama konflik dalam lingkup kepemerintahan yakni mereka yang ketika memimpin selalu mengutamakan unsur-unsur kemashlahatan bagi semua orang, maka dalam menyelesaikan masalah, bisa dilakukan oleh kedua pihak atau jika tidak bisa maka dilakukan oleh pihak yang ketiga atau lebih dikenal dengan meditasi, maka oleh karena itu dalam Islam sudah dikenal dengan nama dewan Syura yang bertugas sebagai tempat perundingan terhadap setiap masalah yang ada. Dalam al-qur’an  telah dikekankan akan pentingnya bersikap damai, kasih sayang serta menghargai satu sama lain.
3.      Mekanisme eksternal
Setiap bangsa pasti memiliki salah satu agama yang mendominasi, maka tak heran jika sebagian agama; lebih kecil lagi ke ranah sekte-sekte yang bertebaran dibanyak negara, maka tak heran jika masing-masing negara mempunyai suatu hal yang wajib untuk diikuti bagi penduduknya dan hal ini bisa menafikan adat yang berlaku bagi orang non pribumi, selain itu efek yang disebabkan hal demikian sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan yang ada, mungkin hal ini yang menyebabkan sebagian sekte Islam ingin menetapkan kekhilafahan berlaku lagi, sebagaimana yang ada di masa awal perkembangan Islam. Namun hal demikian tidak akan bisa mendamaikan dunia, namun hanya akan memperkeruh konflik-konflik yang terjadi saat ini. Selayaknya kesubjektifan masing-masing agama harus tetap menetapkan satu landasan yang bersifat terbuka bagi agama lain yang tidak lain terkait dengan kebebasan berkeyakinan dan memilih yang bersifat muthlaq bagi setiap insan yang bernyawa.
v  Prinsip-prinsip perdamaian
Ø  Mengupayakan keadilan
Bisa dikatakan bahwa faktor ketidakadilan sosial adalah salah satu faktor yang biasanya selalu hadir dalam setiap konflik yang ada, dalam hal ini terdapat perbedaan yang jauh berbeda antara orang Islam dengan orang barat, dimana orang barat tidak mengarahkan pondasi pemikirannya berdasarkan pada nilai-nilai  ajaran Islam yang ada, namun lebih kepada hubungan politik baik antar negara Islam maupun non-Islam. Jika kita lihat  dalam al-Qur’an dan hadits maka akan kita temukan bahwa semua ayat dan matan hadits tidak ada yang mengarahkan kepada kekerasan  dan ketidakadilan.
Mengutip pendapat dari Abu nimer, bahwa semua madzab hukum sepakat tentang keadilan ilahiyah adalah Islam, keadilan Ilahiyah disini adalah keadilan yang hakiki. bagi penulis ajaran islam yang terkait dengan beribadatan tidak akan bisa disalahkan, namun pada satu sisi hal itu bisa berubah atau diperingan yang disebabkan oleh beberapa hal. Dalam menetapkan keadilan, selayaknya bagi setiap orang; bukan hanya pemimpin, dapat  menghilangkan sifat kesubyektifan yang ada pada dirinya, dan mencoba sebisa mungkin untuk mengapikasikan keadilan ilahiyah yang menjadi nilai-nilai ajaran Islam.
Ø  Nirkekerasan
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya menghadapi setiap masalah tanpa menggunakan kekerasan dan lebih mengarah kepada permusyawaratan, prinsip ini yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai landasan dalam menghadapi konflik-konflik yang terjadi. Hal ini dapat didasari karena biasanya kekerasan yang muncul disebabkan adanya sikap melawan yang melebihi kebutuhan, serta tidak adanya keinginan untuk mencari damai. Seperti halnya konflik tragis antara suku dayak dan suku madura, hal ini berlangsung hampir 1 tahun, dalam kasus ini selain karena ada faktor-faktor tertentu yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut, juga disebabkan karena tidak adanya keinginan untuk melakukan permusyawaratan dan penyelesaian tanpa kekerasan, dalam prinsip ini terkait dengan sikap keadilan yang terdapat di paragraf sebelumnya. 
Ø  Tindakan pasifisme
Tindakan pasifisme bisa dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang merasa pasrah terhadap setiap masalah yang ada, hal ini bisa dikarenakan tidak adanya kemampuan untuk melawan. Seperti halnya yang dilakukan oleh kaum Palestina yang mana mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melawan negara Israel yang menghilangkan perdamaian ditanah mereka. Hal ini biasanya memunculkan para mujahid untuk membela kaum pasifisme, jadi yang menentang bukanlah obyek dari kekerasan tersebut, namun pihak ketiga-lah yang menjadi perisai untuk melawan kelompok yang superior.
Ø  Pemahaman tentang dasar keyakinan
Dewasa ini  sering kita temukan konflik-konflik, baik yang  terdorong keinginan individu maupun unsur-unsur dari luar, seperti dalam hal penistaan agama yang akhir-akhir ini muncul, saat itu seakan-akan semua muslim menjadi seorang mufassir, maka timbullah konflik-konflik yang mengatas namakan agama. Dalam hal ini terdapat dua cermin yang saling berlawanan, satu sisi ingin mensucikan ajaran agama Islam namun satu sisi akan merusak pondasi ajaran Islam itu sendiri.  Maka diperlukan pemahaman yang mendalam terkait apa yang seharusnya diselesaikan. Karena bagaimanapun, kebenaran dari suatu konflik tidak akan bisa sama jika dilihat dari satu pandangan yang lain, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu Islam telah mengajarkan untuk selalu bertabayyun sebelum melakukan sesuatu.
v  Bagian penutup
Sejatinya tindakan kekerasan maupun nirkekerasan yang terjadi sangatlah dipengaruhi oleh agama itu sendiri, karena ajaran-ajaran yang ada merupakan bentuk aplikatif dari teori-teori teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits), dalam Islam selalu menekankan terhadap sikap Tawassuth, ‘Adil, Kasih sayang dan Cinta Damai. Teks keagamaan saat ini tidak bisa selalu menjadi subjek dalam pengkajian, namun harus bisa menjadikan teks tersebut sebagai objek yang non-tekstual, namun kenyataannya dalam memahami sesuatu kita kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan kondisi sekarang serta sumber makro dan mikronya. Masalah  ini merupakan tugas kita bersama untuk mengembalikkan tujuan asli diturunkannya al-Qur’an dan Hadits sebagai The Elementary Source, yang didukung dengan ijtihad serta nilai mashlahah mursalah bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya perdamaian yang terjadi tidak hanya terkait dengan agama Islam, karena setiap agama dapat berperan mengembangan perdamaian di dunia ini. Sekian terima kasih.





Oleh: Moh. Nailul Muna

(Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga)

Rabu, 11 Mei 2016

sejarah penerjemahan al-Qur'an

The translation of the Qur’an
Pada perempat ke-dua abad ke-12 Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo. Dengan pertimbangan membasmi kepercayaan heretic—yakni Yahudi dan Islam—dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai suatu tim penerjemah yang ditugaskannya  menerjemah serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan Islam. Hasil kerja tim tersebut, dikenal sebagi Cluniac Corpus, kemudian tersebar luas. Tetapi, kumpulan terjemahan ini tidak digunakan secara menyeluruh: hanya bagian-bagian yang memiliki manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi serta dikutip tanpa komentar. Jadi Cluniac Corpus ini, merupakan terjemahan pertama al-Qur’an ke dalam bahasa Latin yang sebagian terjemahannya digarap oleh Robert of Ketton, namun kelemahan terjemahan ini ialah terdapatnya sejumlah cacat mendasar dan dalam kebanyakan kasus, terjemahan ini tidak akurat atau bahkan salah terjemah. Dikabarkan bahwa Robert selalu cenderung memperbesar atau melebih-lebihkan teks yang tidak berbahaya untuk menekankan kejelekan dan kebejatannya, serta lebih menyukai pemaknaan yang mustahil dan tidak memuaskan daripada pemaknaan pemaknaan yang memungkinkan, tetapi normal dan pantas.
Selanjutnya terdapat terjemahan al-Qur’an dalam bahasa latin yakni Alcorani Textus Universus yang dibuat oleh pendeta Italia, Ludovico Marraci, langsung dari teks Arab. Terjemahan Maracci ini terlihat lebih cermat. Adapun terjemahan al-Qur’an pertama kali ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Alexander Ross dan terbit pada tahun 1649. Karya ini tidak langsung mengacu kepada teks orisinal Arab, tetapi diasarkan pada terjemahan Perancis Du Ryer. Dengan demikian, berbagai kelemahan dalam terjemahan Du Ryer juga menimpa terjemahan Ross.
Selain itu terdapat dua jilid terjemahan Arthur J. Arberry, The Koran Interpreted (1955), dapat dipandang sebagai salah satu terjemahan terbaik al-Qur’an ke-dalam bahasa Inggris. Karya ini adalah kelanjutan dari terbitan perdananya, The Holy Qur’an: An Introduction with Selections (1953). Yang merupakan suatu terjemahan eksperimental bagian-bagian terpilih al-Qur’an dengan menggunakan berbagai metode.
Secara keseluruhan beberapa hal yang penting dalam masalah penerjemahan al-Qur’an diantaranya:
1.      Sejak permulaan Islam, Muslim telah mengakui kebutuhan atas penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa lain, yakni selain bahasa Arab, pemikiran ini bisa didasari beberapa perkara, diantaranya dalam perkara peribadatan.
2.      Muslim tidak menganggap al-Qur’an terjemahan sebagai padanan dari al-Qur’an itu sendiri; cukup mereka tujukan untuk “menerjemah maksud dari kandungan al-Qur’an”.
3.      Alasan ketidakmungkinan memasukkan tiruan model asli al-Qur’an, karena kekayaan bahasa Arab, serta adanya beberapa istilah yang tidak bisa diterjemahkan. Kenyataannya bahwa terjemahan tidak pernah bisa sepenuhnya tepat atau bersifat netral.
4.      Penerjemahan al-Qur’an oleh orang non-Islam yang penting pertama kali dimulai pada abad ke-12, dan akhir-akhir ini secara relatif mempunyai sebagian besar polemic.
5.      Pada abad ke-12 terdapat beberapa terjemahan yang sangat teliti yang dibuat oleh sarjana barat begitu juga yang dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, dan sekarang terdapat 100 perbedaan dalam penerjemahan yang tersedia lebih dari 65 bahasa.

Sumber Referensi:
1.      The Qur’an An Introduction karya Abdullah Saeed.

2.      Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufiq Adnan Kamal.

Senin, 09 Mei 2016

Makalah sejarah agama Hindu

Pendahuluan
                Selama manusia belum bisa mengetahui masa depannya, selama itu pula manusia di dunia akan terus beragama, agama adalah kepercayaan yang di pegang oleh seseorang untuk menjalankan segala aktifitasnya, tidak hanya aktifitas yang berhubungan dengan spiritual, namun meliputi aspek-aspek yang lain seperti sosial, ekonomi dan lain-lain. Menurut beberapa ahli sejarah agama, bahwa agama telah ada dan sama tuanya dengan umur masyarakat manusia di dunia ini, dari sejak masyarakat primitif sampai dengan masyarakat modern. Dengan semakin banyaknya kunci-kunci ilmu pengetahuan                moderen, yang dapat membuka pintu-pintu tertutup dari masa lampau, maka semakin banyak kita dapat mempelajari tentang agama-agama purba dalam masyarakat manusia di atas bumi ini.
Begitu pula yang terjadi di wilayah Indonesia, sebelum agama-agama yang dibawa oleh para pendatang asing, penduduk pribumi cenderung menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Namun sesudah agama-agama itu diajarkan secara intensif, banyak penduduk pribumi menganut agama tertentu dengan atau tanpa meninggalkan (masih menganut) kepercayaan lamanya. Kepercayaan purbani yang telah diberikan oleh leluhurnya secara turun-menurun.
                Tidak diketahui secara pasti, kapan agama-agama yang dibawa oleh para pendatang asing itu memasuki Indonesia. Satu hal yang bisa diketahui, bahwa agama Hindu dan agama Buddha merupakan agama yang pertama kali memasuki Indonesia. Baru sesudah itu; agama Islam, Kristen, Katolik, dan Khong Hu Cu masuk di Indonesia dan banyak dianut oleh penduduk pribumi.        
Agama Hindu yang lahir di wilayah India itu telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks pada bidang astronomi, ilmu pertanian, ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan teramat mendetail jangkauan pemaparannya, maka agama Hindu terkadang terasa sulit untuk dipahami. Oleh karena itu kami membuat makalah ini, selain untuk memenuhi tugas sejarah agama-agama yakni bertujuan untuk memperkaya keilmuan kita mengenai khazanah agama-agama di dunia ini, baik bersifat purba maupun modern.
                 
A.   Sejarah agama Hindu di India
Menurut catatan sejarah, manusia pertama yang menduduki wilayah india pada kira-kira 40.000-60.000 tahun silam saat periode paleolik adalah ras australoid. Ras manusia ini diperkirakan memiliki hubungan dengan penduduk Australia, India diduduki oleh kelompok manusia dari ras Kaukasoid (bangsa Elamo-Dravida pada 4000-6000 SM, Indo-Arya pada 2000-1500 SM) serta ras Mongoloid (Sino-Tibet).[1]
Agama hindu tumbuh dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama (bangsa) Dravida dan agama (bangsa) Arya. Dalam perkembangannya di India lalu ada usaha-usaha yang digunakan untuk memasukkan berbagai macam kepercayaan yang ada, adapun unsur penting yang merupakan ajaran yang dominan dalam agama Hindu adalah  unsur teologi, filsafat, social, lembaga social dan etika atau moral. Agama Hindu  mempercayai realitas tertinggi hanya satu, akan tetapi tidak membatasi “yang satu” sebagai realitas yang dimaksud sebagai Tuhan yang personal.[2]
Agama Hindu berkembang sejak 1500 S.M. bersamaan dengan masuknya suku bangsa Arya ke India Utara. Mereka mula-mula meduduki daerah sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yang terdiri dari suku Dravida dan suku lain-lain yang tinggal di India Utara. Kepercayaan bangsa Arya yang berpadu dengan kepercayaan penduduk asli menjadi semacam syncretisme (penyatuan aliran) yang membentuk agama Hindu. Dengan kata lain konsepsi-konsepsi kebudayaan yang dibawa bangsa Arya dalam bentuk kepercayaan terhadap dewa-dewa alam yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani mangalami peleburan (syncretisme ) dengan kebudayaan asli yang berisi kepercayan tentang hal-hal ghaib yang berbentuk animism, dynamism srta fetisysme di samping pemujaan kepada naga, peri dan sebagainya.[3]
Dalam sejarah literaturnya, Agama Veda mulanya dipengaruhi oleh agama-agama Arya karena beragam literaturnya menjadi kitab suci bangsa Arya yang paling tua, tapi dalam perkembangan agama Hindu tidak hanya dipengaruhi oleh oleh keyakinan bangsa Arya.
Agama India terhapus oleh dua tahapan besar. Pertama, terdapat keanekaragaman keyakinan bangsa Arya Indo-Iran, dimana keyakinan leluhur bangsa Persia dan India bercampur dan pada periode sebelumnya, bangsa Arya telah menduduki India. Dengan demikian agama veda (Hindu) terbentuk dari campuran budaya Persia dan India.[4]
Terdapat suatu pendapat yang mengatakan, perkembangan agama Hindu di India dapat dibagi kedalam 4 fase, yakni :
1)      Zaman Weda, pada zaman ini bangsa Indo-Arya telah memiliki paredaban yang tinggi dan menyembah dewa-dewa.
2)      Zaman Brahmana yakni zaman ketika kekuasaan kaum Brahmana sangat besar pada kehidupan keagamaan.
3)      Zaman Upanishad, semasa zaman Upanishad yang mendapatkan perhatian tidak sebatas pada upacara dan sesaji, melainkan pula tentang pengetahuan batin yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib.
4)      Zaman Buddha, yakni bermula ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Shiddarta menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sitem semedi sebagai jalan untuk menghubungkan diri degan Tuhan.[5]

B.    Sejarah masuknya agama Hindu di Indonesia
Agama Hindu yang semula disyiarkan oleh bangsa Indo-Arya di India terus mengalami perkembangan signifikan. Melalui penyiarannya, agama Hindu tidak hanya berkembang di India, melainkan masuk dan menyebar ke Negara-negara lain seperti Asia Tengah, Tiongkok, Jepang, dan tidak ketinggalan Negara Indonesia. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai sejarah masuknya agama Hindu di Indonesia pada abad ke-4 SM tersebut beberapa teori tersebut adalah :
1.    Teori waisya
Berdasarkan teori waisya yang dikemukakan oleh krom dalam bukunya “Hindu Javanesche Geschiedenis” menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (waisya) dari India.
2.    Teori Brahmana
Menurut Van Leur, agama Hindu bisa masuk ke Indonesia karena dibawa oleh Brahmana. Teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa para Brahmana yang memahami benar tentang kitab Weda dan memiliki tanggung jawab atas penyiaran agama Hindu di dunia, terutama di Indonesia.
3.    Teori Ksatri
Teori Ksatria dikemukakan oleh Majundar, Moekrji, dan Nehru. Mereka sepakat menyebutkan bahwa agama Hindu dibawa oleh para prajurit India yang ingin menaklukkan Indonesia sambil menyebarkan agama tersebut.
4.    Teori Sudra
Teori sudra menyebutkan bahwa masuknya agama Hindu di Indonesia, karena dibawa oleh para budak (golongan sudra).
5.    Teori Arus Balik
Teori arus balik menyatakan, bahwa masuknya agama Hindu di Indonesia karena penduduk Indonesia sendiri. Mereka datang ke India untuk mempelajari agam Hindu dan kemudian pulang ke Indonesia untuk menyiarkannya.
6.    Teori Mookerje dan Bosch
Teori Mookerje menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia di bawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar.
7.    Teori Moens dan Bosch
Moens dan Bosch menyatakan melalui teorinya, bahwa peranan kaum ksatria sangat besar pengaruhnya terhadap penyabaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Selain itu, mereka menyebutkan bahwa penyebaran agama Hindu di Indonesia tidak terlepas dari peran rohaniawan dari India[6]
C.      Perkembangan agama Hindu di Indonesia (Abad 8-15 M)
Hingga sekarang ini belum ada penjelasan yang memuaskan perihal perkembangan sejarah politik dan kebudayaan setelah keruntuhan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian Barat hingga berdirinya kerajaaan Mataram Kuno di wilayah jawa bagian tengah. Berita tentang perkembangan agama baru didapatkan dalam uraian prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M. sebenarnya secara samar-samar dapat diketahui telah ada pemuliaan terhadap dewa-dewa  Hindu Trimurti lewat ungkapan prasasti Tuk Mas yang mungkin berasal dari sekitar tahun 700 M. Dalam prasasti Tuk Mas digambarkan adanya berbagai benda-benda (laksana) yang biasanya dipegang oleh dewa-dewa Trimurti  (Brahma, Visnu, Siva). Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Hindu Trimurti telah dikenal oleh penduduk Jawa kuno masa itu.[7]
Namun tonggak perkembangan agama Hindu di Indonesia dimulai sejak abad ke-4 Masehi. Mulai abad inilah Indonesia memasuki zaman sejarah dan mengenal sistem kerajaan yang berbasis pada agama Hindu. Adapun kerajaan-kerajaan yang menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis agama Hindu antara lain:
1)      Kerajaan kutai (Kalimantaan Timur)
Dinyatakan abad ke-4 Masehi sebagai tonggak perkembangan agama Hindu, arena pada masa itu ditemukannya prasasti batu berbentuk tujuh yupa[8] di tepi Sungai Mahakam (Kalimantan Timur)
2)      Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat)
Perkembangan agama Hindu di Jawa Barat diperkirakan terjadi sekitar abad ke-5 Masehi. Perkembangan ini ditandai dengan 2 hal, yakni pertama, adanya kerajaan Hindu Tarumanegara yang dikuasai oleh Purnawarman. Kedua, dibangunnya 7 prasasti batu (Saila Prasasti), yang kesemuanya ditulis dengan huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Sansakerta.
3)      Kerajaan di Jawa Tengah
Kerajaan di Jawa Tengah yang merupakan bukti tentang perkembangan agama Hindu tersebut telah berdiri pada sekitar tahun 650 Masehi. Hal ini dapat ditunjukkan pada Prasasti Tuk Masdi lereng Gunung Merbabu yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansakerta.
4)      Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa Timur
Perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dapat ditunjukkan pada Prasasti Dinoyo dekat kota Malang. Prasasti berangka tahun 682 Saka (760 Masehi) ini menerangkan, bahwa terdapat kerajaan Kanjuruhan dengan rajanya Dewa Simha yang menganut agama Hindu dengan memuja Dewa Siwa.
5)      Kerajaan Hidu di Bali
Prasasti Banjong yang berisi tulisan berbahasa Bali kuno dan Sansakerta merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Hindu di Bali. Sebelum ditemukannya Prasasti Blanjong, terdapat beberapa prasasti di Bali namun tidak tertulis tahun pembuatannya. Namun pada zaman tersebut Kerajaan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, dengan demikian, agama Hindu dapat berkembang pesat karena aspek keagamaan dapat ditata kembali oleh Dang Hyang Nirata.[9]

D.      Ajaran-ajaran dan pedoman dalam agama Hindu
1.       kitab pedoman agama Hindu
Setiap agama dibangun melalui sabda Tuhan (Wahyu). Sabda sabda Tuhan ini dikumplkan dalam suatu kitab suci dari massing-masing agama. Kitab suci agama Hindu adalah weda. Kata weda atau “veda” dapat dikaji dari dua pendekatan, yaitu etimologi dan semantik. Secara etimologis, kata “veda” berasal dari kata “vid” yang artinya “mengetahui”, dan veda yang berarti “pengetahuan”. Dalam pengertian semantik, veda berarti pengetahuan suci, kebenaran sejati, pengetahuan tentang ritual, kebijaksanaan tertinggi, pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. Adapun bahasa yang digunakan dalam kitab weda/veda adalah bahasa Sansakerta.[10]
2.       Tokoh utama dalam agama Hindu
Resi, Arya dan Acarya
ü  Dalam agama Hindu terdapat kepercayaan bahwa agama itu “diwahyukan” melalui “orang-orang yang melihat dan tahu akan kebenaran”, yang disebut Resi. Karena Resi adalah orang yang “mendengar” pengetahuan lalu sering disebut dengan “sruti”.[11]
ü  Arya adalah nama dari ras yang telah menaklukkan ras asli India. Gelar “Indo-Eropa” menunjukkan bahwa ras ini kini berdiam di India dan Eropa. Adapun asal-usul bangsa Arya berasal di belahan dunia bagian Timur , namun menurut professor Max Muller menggambarkan bahwa ras superior ini muncul dari dataran tinggi di Asia sebelum menguasai hamper seluruh Eropa, sementara yang lainnya turun menuju Persia dan datarn-dataran luas di India.[12]
ü  Acarya (guru, ghuru) adalah para tokoh penafsir secara rinci dalam madzab filsafat (darsana[13])
3.       Konsepsi Hinduisme tentang Masyarakat
Menurut ajaran HInduisme di India, dalam masyarakat terdapat tingkat-tingkat golongan yang bersifat Hierarki vertical. Masing-masing golongan (kasta) satu sama lain tidak ada hubungan social secara demokratis, sehingga satu sama lain merupakan golongan (kasta) yang menutup diri terhadap yang lainnya. Dengan kata lain kasta-kasta tidak boleh bergaul dengan kasta lain dibawahnya. Adapun pembagian kasta-kasta tersebut adalah:
1.Brahmana 2.Ksatrya 3.Waisya dan 4.Sudra.[14]
4.       Cita-cita Hinduisme serta acara-acara untuk mencapainya
Tujuan beragama dalam Hinduisme ialah mencapai kelepasan dari samsara yaitu penjelmaan berkali-kali (reinkarnasi). Penjelmaan berkali-kali dipandang sebagai suatu penderitaan yang sangat meyedihkan bagi hidup manusia. Maka dari itu Samsara harus segera diakhiri. Dengan terlepasnya dari Samsara berarti manusia telah mecapai mokhsa (tidak menjelma). Yaitu telah mencapai Nirwana (kebahagiaan abadi).
Adapun jalan untuk mencapai tujuan tersebut ada 4 yaitu :
a)      Jalan kepad dewa dengan melalui ilmu pengetahuan
b)      Jalan kepada dewa dengan melalui cinta kasih
c)       Jalan kepada dewa dengan melalui bekerja sekeras-kerasnya
d)      Jalan kepada dewa dengan melalui latihan-latihan kejiwaan.[15]



[1] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta
[2] Ed. Khairullah Zikri DKK, 2012, AGAMA-AGAMA DUNIA, jurusan perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga/belukar.Yogyakarta.
[3] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.56
[4] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.56
[5] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta.Hlm.35-36
[6] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta Hlm.49-52
[7] Agus Aris Munandar DKK.2009, Sejarah Kebudayaan Indonesia, PT Raja Grafindo. Jakarta. Hlm.40
[8] Yupa adalah batu tertulis yang berbentuk tiang yang digunakan dalam upacara agama.
[9] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta Hlm.52-57
[10] Djam’annuri,2002, AGAMA KITA (perspektif sejarah agama-agama). Kuria Kalam Semesta, Yogyakarta.Hlm.41
[11] Ed. Khairullah Zikri DKK, 2012, AGAMA-AGAMA DUNIA, jurusan perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga/belukar.Yogyakarta.
[12] Allan Menzies,2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA, forum. Yogyakarta
[13] Darsana merupakan hasil tafsiran dari resi yang nampak pada kalangan umat Hindu sebagai aliran-aliran atau madzab filsafat
[14] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.68
[15] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.69