Rabu, 11 Mei 2016

sejarah penerjemahan al-Qur'an

The translation of the Qur’an
Pada perempat ke-dua abad ke-12 Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo. Dengan pertimbangan membasmi kepercayaan heretic—yakni Yahudi dan Islam—dan membela keyakinan kristiani, ia membentuk dan membiayai suatu tim penerjemah yang ditugaskannya  menerjemah serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan merupakan pijakan ilmiah bagi para misionaris Kristen yang berurusan dengan Islam. Hasil kerja tim tersebut, dikenal sebagi Cluniac Corpus, kemudian tersebar luas. Tetapi, kumpulan terjemahan ini tidak digunakan secara menyeluruh: hanya bagian-bagian yang memiliki manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi serta dikutip tanpa komentar. Jadi Cluniac Corpus ini, merupakan terjemahan pertama al-Qur’an ke dalam bahasa Latin yang sebagian terjemahannya digarap oleh Robert of Ketton, namun kelemahan terjemahan ini ialah terdapatnya sejumlah cacat mendasar dan dalam kebanyakan kasus, terjemahan ini tidak akurat atau bahkan salah terjemah. Dikabarkan bahwa Robert selalu cenderung memperbesar atau melebih-lebihkan teks yang tidak berbahaya untuk menekankan kejelekan dan kebejatannya, serta lebih menyukai pemaknaan yang mustahil dan tidak memuaskan daripada pemaknaan pemaknaan yang memungkinkan, tetapi normal dan pantas.
Selanjutnya terdapat terjemahan al-Qur’an dalam bahasa latin yakni Alcorani Textus Universus yang dibuat oleh pendeta Italia, Ludovico Marraci, langsung dari teks Arab. Terjemahan Maracci ini terlihat lebih cermat. Adapun terjemahan al-Qur’an pertama kali ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Alexander Ross dan terbit pada tahun 1649. Karya ini tidak langsung mengacu kepada teks orisinal Arab, tetapi diasarkan pada terjemahan Perancis Du Ryer. Dengan demikian, berbagai kelemahan dalam terjemahan Du Ryer juga menimpa terjemahan Ross.
Selain itu terdapat dua jilid terjemahan Arthur J. Arberry, The Koran Interpreted (1955), dapat dipandang sebagai salah satu terjemahan terbaik al-Qur’an ke-dalam bahasa Inggris. Karya ini adalah kelanjutan dari terbitan perdananya, The Holy Qur’an: An Introduction with Selections (1953). Yang merupakan suatu terjemahan eksperimental bagian-bagian terpilih al-Qur’an dengan menggunakan berbagai metode.
Secara keseluruhan beberapa hal yang penting dalam masalah penerjemahan al-Qur’an diantaranya:
1.      Sejak permulaan Islam, Muslim telah mengakui kebutuhan atas penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa lain, yakni selain bahasa Arab, pemikiran ini bisa didasari beberapa perkara, diantaranya dalam perkara peribadatan.
2.      Muslim tidak menganggap al-Qur’an terjemahan sebagai padanan dari al-Qur’an itu sendiri; cukup mereka tujukan untuk “menerjemah maksud dari kandungan al-Qur’an”.
3.      Alasan ketidakmungkinan memasukkan tiruan model asli al-Qur’an, karena kekayaan bahasa Arab, serta adanya beberapa istilah yang tidak bisa diterjemahkan. Kenyataannya bahwa terjemahan tidak pernah bisa sepenuhnya tepat atau bersifat netral.
4.      Penerjemahan al-Qur’an oleh orang non-Islam yang penting pertama kali dimulai pada abad ke-12, dan akhir-akhir ini secara relatif mempunyai sebagian besar polemic.
5.      Pada abad ke-12 terdapat beberapa terjemahan yang sangat teliti yang dibuat oleh sarjana barat begitu juga yang dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, dan sekarang terdapat 100 perbedaan dalam penerjemahan yang tersedia lebih dari 65 bahasa.

Sumber Referensi:
1.      The Qur’an An Introduction karya Abdullah Saeed.

2.      Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufiq Adnan Kamal.

Senin, 09 Mei 2016

Makalah sejarah agama Hindu

Pendahuluan
                Selama manusia belum bisa mengetahui masa depannya, selama itu pula manusia di dunia akan terus beragama, agama adalah kepercayaan yang di pegang oleh seseorang untuk menjalankan segala aktifitasnya, tidak hanya aktifitas yang berhubungan dengan spiritual, namun meliputi aspek-aspek yang lain seperti sosial, ekonomi dan lain-lain. Menurut beberapa ahli sejarah agama, bahwa agama telah ada dan sama tuanya dengan umur masyarakat manusia di dunia ini, dari sejak masyarakat primitif sampai dengan masyarakat modern. Dengan semakin banyaknya kunci-kunci ilmu pengetahuan                moderen, yang dapat membuka pintu-pintu tertutup dari masa lampau, maka semakin banyak kita dapat mempelajari tentang agama-agama purba dalam masyarakat manusia di atas bumi ini.
Begitu pula yang terjadi di wilayah Indonesia, sebelum agama-agama yang dibawa oleh para pendatang asing, penduduk pribumi cenderung menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Namun sesudah agama-agama itu diajarkan secara intensif, banyak penduduk pribumi menganut agama tertentu dengan atau tanpa meninggalkan (masih menganut) kepercayaan lamanya. Kepercayaan purbani yang telah diberikan oleh leluhurnya secara turun-menurun.
                Tidak diketahui secara pasti, kapan agama-agama yang dibawa oleh para pendatang asing itu memasuki Indonesia. Satu hal yang bisa diketahui, bahwa agama Hindu dan agama Buddha merupakan agama yang pertama kali memasuki Indonesia. Baru sesudah itu; agama Islam, Kristen, Katolik, dan Khong Hu Cu masuk di Indonesia dan banyak dianut oleh penduduk pribumi.        
Agama Hindu yang lahir di wilayah India itu telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks pada bidang astronomi, ilmu pertanian, ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan teramat mendetail jangkauan pemaparannya, maka agama Hindu terkadang terasa sulit untuk dipahami. Oleh karena itu kami membuat makalah ini, selain untuk memenuhi tugas sejarah agama-agama yakni bertujuan untuk memperkaya keilmuan kita mengenai khazanah agama-agama di dunia ini, baik bersifat purba maupun modern.
                 
A.   Sejarah agama Hindu di India
Menurut catatan sejarah, manusia pertama yang menduduki wilayah india pada kira-kira 40.000-60.000 tahun silam saat periode paleolik adalah ras australoid. Ras manusia ini diperkirakan memiliki hubungan dengan penduduk Australia, India diduduki oleh kelompok manusia dari ras Kaukasoid (bangsa Elamo-Dravida pada 4000-6000 SM, Indo-Arya pada 2000-1500 SM) serta ras Mongoloid (Sino-Tibet).[1]
Agama hindu tumbuh dari dua arus utama yang membentuknya, yaitu agama (bangsa) Dravida dan agama (bangsa) Arya. Dalam perkembangannya di India lalu ada usaha-usaha yang digunakan untuk memasukkan berbagai macam kepercayaan yang ada, adapun unsur penting yang merupakan ajaran yang dominan dalam agama Hindu adalah  unsur teologi, filsafat, social, lembaga social dan etika atau moral. Agama Hindu  mempercayai realitas tertinggi hanya satu, akan tetapi tidak membatasi “yang satu” sebagai realitas yang dimaksud sebagai Tuhan yang personal.[2]
Agama Hindu berkembang sejak 1500 S.M. bersamaan dengan masuknya suku bangsa Arya ke India Utara. Mereka mula-mula meduduki daerah sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan penduduk asli yang terdiri dari suku Dravida dan suku lain-lain yang tinggal di India Utara. Kepercayaan bangsa Arya yang berpadu dengan kepercayaan penduduk asli menjadi semacam syncretisme (penyatuan aliran) yang membentuk agama Hindu. Dengan kata lain konsepsi-konsepsi kebudayaan yang dibawa bangsa Arya dalam bentuk kepercayaan terhadap dewa-dewa alam yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani mangalami peleburan (syncretisme ) dengan kebudayaan asli yang berisi kepercayan tentang hal-hal ghaib yang berbentuk animism, dynamism srta fetisysme di samping pemujaan kepada naga, peri dan sebagainya.[3]
Dalam sejarah literaturnya, Agama Veda mulanya dipengaruhi oleh agama-agama Arya karena beragam literaturnya menjadi kitab suci bangsa Arya yang paling tua, tapi dalam perkembangan agama Hindu tidak hanya dipengaruhi oleh oleh keyakinan bangsa Arya.
Agama India terhapus oleh dua tahapan besar. Pertama, terdapat keanekaragaman keyakinan bangsa Arya Indo-Iran, dimana keyakinan leluhur bangsa Persia dan India bercampur dan pada periode sebelumnya, bangsa Arya telah menduduki India. Dengan demikian agama veda (Hindu) terbentuk dari campuran budaya Persia dan India.[4]
Terdapat suatu pendapat yang mengatakan, perkembangan agama Hindu di India dapat dibagi kedalam 4 fase, yakni :
1)      Zaman Weda, pada zaman ini bangsa Indo-Arya telah memiliki paredaban yang tinggi dan menyembah dewa-dewa.
2)      Zaman Brahmana yakni zaman ketika kekuasaan kaum Brahmana sangat besar pada kehidupan keagamaan.
3)      Zaman Upanishad, semasa zaman Upanishad yang mendapatkan perhatian tidak sebatas pada upacara dan sesaji, melainkan pula tentang pengetahuan batin yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib.
4)      Zaman Buddha, yakni bermula ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Shiddarta menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sitem semedi sebagai jalan untuk menghubungkan diri degan Tuhan.[5]

B.    Sejarah masuknya agama Hindu di Indonesia
Agama Hindu yang semula disyiarkan oleh bangsa Indo-Arya di India terus mengalami perkembangan signifikan. Melalui penyiarannya, agama Hindu tidak hanya berkembang di India, melainkan masuk dan menyebar ke Negara-negara lain seperti Asia Tengah, Tiongkok, Jepang, dan tidak ketinggalan Negara Indonesia. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai sejarah masuknya agama Hindu di Indonesia pada abad ke-4 SM tersebut beberapa teori tersebut adalah :
1.    Teori waisya
Berdasarkan teori waisya yang dikemukakan oleh krom dalam bukunya “Hindu Javanesche Geschiedenis” menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (waisya) dari India.
2.    Teori Brahmana
Menurut Van Leur, agama Hindu bisa masuk ke Indonesia karena dibawa oleh Brahmana. Teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa para Brahmana yang memahami benar tentang kitab Weda dan memiliki tanggung jawab atas penyiaran agama Hindu di dunia, terutama di Indonesia.
3.    Teori Ksatri
Teori Ksatria dikemukakan oleh Majundar, Moekrji, dan Nehru. Mereka sepakat menyebutkan bahwa agama Hindu dibawa oleh para prajurit India yang ingin menaklukkan Indonesia sambil menyebarkan agama tersebut.
4.    Teori Sudra
Teori sudra menyebutkan bahwa masuknya agama Hindu di Indonesia, karena dibawa oleh para budak (golongan sudra).
5.    Teori Arus Balik
Teori arus balik menyatakan, bahwa masuknya agama Hindu di Indonesia karena penduduk Indonesia sendiri. Mereka datang ke India untuk mempelajari agam Hindu dan kemudian pulang ke Indonesia untuk menyiarkannya.
6.    Teori Mookerje dan Bosch
Teori Mookerje menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia di bawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar.
7.    Teori Moens dan Bosch
Moens dan Bosch menyatakan melalui teorinya, bahwa peranan kaum ksatria sangat besar pengaruhnya terhadap penyabaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Selain itu, mereka menyebutkan bahwa penyebaran agama Hindu di Indonesia tidak terlepas dari peran rohaniawan dari India[6]
C.      Perkembangan agama Hindu di Indonesia (Abad 8-15 M)
Hingga sekarang ini belum ada penjelasan yang memuaskan perihal perkembangan sejarah politik dan kebudayaan setelah keruntuhan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian Barat hingga berdirinya kerajaaan Mataram Kuno di wilayah jawa bagian tengah. Berita tentang perkembangan agama baru didapatkan dalam uraian prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M. sebenarnya secara samar-samar dapat diketahui telah ada pemuliaan terhadap dewa-dewa  Hindu Trimurti lewat ungkapan prasasti Tuk Mas yang mungkin berasal dari sekitar tahun 700 M. Dalam prasasti Tuk Mas digambarkan adanya berbagai benda-benda (laksana) yang biasanya dipegang oleh dewa-dewa Trimurti  (Brahma, Visnu, Siva). Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Hindu Trimurti telah dikenal oleh penduduk Jawa kuno masa itu.[7]
Namun tonggak perkembangan agama Hindu di Indonesia dimulai sejak abad ke-4 Masehi. Mulai abad inilah Indonesia memasuki zaman sejarah dan mengenal sistem kerajaan yang berbasis pada agama Hindu. Adapun kerajaan-kerajaan yang menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis agama Hindu antara lain:
1)      Kerajaan kutai (Kalimantaan Timur)
Dinyatakan abad ke-4 Masehi sebagai tonggak perkembangan agama Hindu, arena pada masa itu ditemukannya prasasti batu berbentuk tujuh yupa[8] di tepi Sungai Mahakam (Kalimantan Timur)
2)      Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat)
Perkembangan agama Hindu di Jawa Barat diperkirakan terjadi sekitar abad ke-5 Masehi. Perkembangan ini ditandai dengan 2 hal, yakni pertama, adanya kerajaan Hindu Tarumanegara yang dikuasai oleh Purnawarman. Kedua, dibangunnya 7 prasasti batu (Saila Prasasti), yang kesemuanya ditulis dengan huruf Pallawa dan menggunakan bahasa Sansakerta.
3)      Kerajaan di Jawa Tengah
Kerajaan di Jawa Tengah yang merupakan bukti tentang perkembangan agama Hindu tersebut telah berdiri pada sekitar tahun 650 Masehi. Hal ini dapat ditunjukkan pada Prasasti Tuk Masdi lereng Gunung Merbabu yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansakerta.
4)      Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa Timur
Perkembangan Agama Hindu di Jawa Timur dapat ditunjukkan pada Prasasti Dinoyo dekat kota Malang. Prasasti berangka tahun 682 Saka (760 Masehi) ini menerangkan, bahwa terdapat kerajaan Kanjuruhan dengan rajanya Dewa Simha yang menganut agama Hindu dengan memuja Dewa Siwa.
5)      Kerajaan Hidu di Bali
Prasasti Banjong yang berisi tulisan berbahasa Bali kuno dan Sansakerta merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Hindu di Bali. Sebelum ditemukannya Prasasti Blanjong, terdapat beberapa prasasti di Bali namun tidak tertulis tahun pembuatannya. Namun pada zaman tersebut Kerajaan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, dengan demikian, agama Hindu dapat berkembang pesat karena aspek keagamaan dapat ditata kembali oleh Dang Hyang Nirata.[9]

D.      Ajaran-ajaran dan pedoman dalam agama Hindu
1.       kitab pedoman agama Hindu
Setiap agama dibangun melalui sabda Tuhan (Wahyu). Sabda sabda Tuhan ini dikumplkan dalam suatu kitab suci dari massing-masing agama. Kitab suci agama Hindu adalah weda. Kata weda atau “veda” dapat dikaji dari dua pendekatan, yaitu etimologi dan semantik. Secara etimologis, kata “veda” berasal dari kata “vid” yang artinya “mengetahui”, dan veda yang berarti “pengetahuan”. Dalam pengertian semantik, veda berarti pengetahuan suci, kebenaran sejati, pengetahuan tentang ritual, kebijaksanaan tertinggi, pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi, ajaran suci atau kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. Adapun bahasa yang digunakan dalam kitab weda/veda adalah bahasa Sansakerta.[10]
2.       Tokoh utama dalam agama Hindu
Resi, Arya dan Acarya
ü  Dalam agama Hindu terdapat kepercayaan bahwa agama itu “diwahyukan” melalui “orang-orang yang melihat dan tahu akan kebenaran”, yang disebut Resi. Karena Resi adalah orang yang “mendengar” pengetahuan lalu sering disebut dengan “sruti”.[11]
ü  Arya adalah nama dari ras yang telah menaklukkan ras asli India. Gelar “Indo-Eropa” menunjukkan bahwa ras ini kini berdiam di India dan Eropa. Adapun asal-usul bangsa Arya berasal di belahan dunia bagian Timur , namun menurut professor Max Muller menggambarkan bahwa ras superior ini muncul dari dataran tinggi di Asia sebelum menguasai hamper seluruh Eropa, sementara yang lainnya turun menuju Persia dan datarn-dataran luas di India.[12]
ü  Acarya (guru, ghuru) adalah para tokoh penafsir secara rinci dalam madzab filsafat (darsana[13])
3.       Konsepsi Hinduisme tentang Masyarakat
Menurut ajaran HInduisme di India, dalam masyarakat terdapat tingkat-tingkat golongan yang bersifat Hierarki vertical. Masing-masing golongan (kasta) satu sama lain tidak ada hubungan social secara demokratis, sehingga satu sama lain merupakan golongan (kasta) yang menutup diri terhadap yang lainnya. Dengan kata lain kasta-kasta tidak boleh bergaul dengan kasta lain dibawahnya. Adapun pembagian kasta-kasta tersebut adalah:
1.Brahmana 2.Ksatrya 3.Waisya dan 4.Sudra.[14]
4.       Cita-cita Hinduisme serta acara-acara untuk mencapainya
Tujuan beragama dalam Hinduisme ialah mencapai kelepasan dari samsara yaitu penjelmaan berkali-kali (reinkarnasi). Penjelmaan berkali-kali dipandang sebagai suatu penderitaan yang sangat meyedihkan bagi hidup manusia. Maka dari itu Samsara harus segera diakhiri. Dengan terlepasnya dari Samsara berarti manusia telah mecapai mokhsa (tidak menjelma). Yaitu telah mencapai Nirwana (kebahagiaan abadi).
Adapun jalan untuk mencapai tujuan tersebut ada 4 yaitu :
a)      Jalan kepad dewa dengan melalui ilmu pengetahuan
b)      Jalan kepada dewa dengan melalui cinta kasih
c)       Jalan kepada dewa dengan melalui bekerja sekeras-kerasnya
d)      Jalan kepada dewa dengan melalui latihan-latihan kejiwaan.[15]



[1] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta
[2] Ed. Khairullah Zikri DKK, 2012, AGAMA-AGAMA DUNIA, jurusan perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga/belukar.Yogyakarta.
[3] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.56
[4] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.56
[5] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta.Hlm.35-36
[6] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta Hlm.49-52
[7] Agus Aris Munandar DKK.2009, Sejarah Kebudayaan Indonesia, PT Raja Grafindo. Jakarta. Hlm.40
[8] Yupa adalah batu tertulis yang berbentuk tiang yang digunakan dalam upacara agama.
[9] Djenar Respati, 2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA DI INDONESIA, araska.Yogyakarta Hlm.52-57
[10] Djam’annuri,2002, AGAMA KITA (perspektif sejarah agama-agama). Kuria Kalam Semesta, Yogyakarta.Hlm.41
[11] Ed. Khairullah Zikri DKK, 2012, AGAMA-AGAMA DUNIA, jurusan perbandingan agama UIN Sunan Kalijaga/belukar.Yogyakarta.
[12] Allan Menzies,2014, SEJARAH AGAMA-AGAMA, forum. Yogyakarta
[13] Darsana merupakan hasil tafsiran dari resi yang nampak pada kalangan umat Hindu sebagai aliran-aliran atau madzab filsafat
[14] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.68
[15] H.M.Arifin M.ed.1997, Menguak Misteri Agama-Agama Besar.PT Golen Terayon Press. Jakarta.Hlm.69

Jumat, 06 Mei 2016

ulumul hadits (sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in)

A.      PENDAHULUAN
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional, disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai madzab Islam, sebagai sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadits pada awalnya tidak ditulis, penyampaian dan penyimpanannya masih bersifat oral (mulut ke mulut), hal tersebut membuat penghafal hadits sangatlah penting untuk diteliti, karena hadits yang ada sekarang ini berpegangan pada hafalan sahabat-sahabat nabi. Dalam hal penelitian tersebut, tidaklah berhenti di thabaqaat sahabat saja, namun harus meneliti perawi-perawi selanjutnya, karena mereka adalah sebagai jalur sanad yang menyampaikan hadits sampai kepada kita.
Adapun cara kita mengetahui itu semua, kita harus mengerti dan paham mengenai sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabiin, karena mereka adalah rantai sanad yang menghubungkan kita dengan nabi. Oleh karena itu dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
B.      PEMBAHASAN
SAHABAT
1.      Ta’rif sahabat
Menurut bahasa al-shahabah adalah bentuk mashdar yang berarti: al-shuhbah (seorang teman). Sebagian mengatakan searti dengan kata al-shahabiy, al-shahih, yang banyak dipakai adalah kata al-shahabah yang berati: al-ashaab.
Menurut istilah, al-shahabah adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. dalam keadaan Islam dan selanjutnya mati juga dalam keadaan Islam, walaupun pernah murtad. Demikian menurut pendapat yang shahih.[1]
Adapun menurut Jumhur ahli hadits ialah:
من لقي النبي مؤمنا به ومات على الاسلام
Artinya:
          “Orang yang bertemu dengan nabi, ia beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam, (di masa Nabi masih hidup).
         
          Orang yang bertemu dengan Nabi saw., namun dia belum memeluk agama Islam, tidak dipandang sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang semasa dengan Nabi saw. dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti An-Najasi (Raja Habsy) atau menjumpai Nabi saw. setelah Nabi  saw. wafat, seperti Abu Dzuaib.
          Termasuk sahabat, jika dia tetap dalam keadaan beriman, sehingga dia wafat. Jika dia murtad sesudah dia dijuluki dengan “sahabt”, hilanglah kesahabatannya, sehingga dia kembali beriman. Jika dia meninggal dalam kekafiran seperti Abdullah ibn Jahasy, maka hilanglah kesahabatannya itu.
          Ditekankan oleh Al-Hafidz bahwa pendapat yang paling shahih ialah “shahaby” hanyalah orang yang berjumpa dengan Nabi saw. dalam kedaan dia beriman, dan meninggal dalam keadaan Islam, bail dia bergaul lama dengan Nabi saw. atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi saw. atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi saw., tetapi tidak semajelis dengan Nabi sa. Atau tidak dapat melihat Nabi saw. karena buta.
Menurut Utsman ibn Shalih bahwa yang dikatakan shahaby ialah orang yang menemui masa Nabi saw., walaupun tidak dapat melihat Nabi saw. dan memeluk Islam semasa Nabi saw. masih hidup. Al-Jahid berpendapat bahwa shahaby ialah orang yang berjumpa dengan Nabi saw., lama pula persahabatannya dan juga meriwayatkan hadits beliau.[2]
2.      Cara untuk mengetahui sahabat
Untuk bisa mengetahui seseorang yang termasuk golongan sahabat ialah dengan menggunakan salah satu cara dari lima ketentuan di bawah ini :
a.      Ditentukan oleh khabar-mutawatir, seperti penetapan terhadap khulafa’ur-rasyidin dan lain-lainnya.
b.      Ditetapkan oleh khabar-masyhur, seperti kesahabatan Dlamam bin Tsa’labah dan ‘Ukasyah.
c.       Diberitakan oleh sahabat yang lain seperti kesahabatan Hamamah bin Hamamah Ad-Dausy, yang meinggal di Isfahan. Menurut pemberitaan dari Abu Musa Al-Asy’ary, bahwa Hamamah pernah mendengar hadits dari Nabi saw. hal ini menjadi bukti, bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
d.      Keterangan seorang tabi’iy yang tsiqah,  bahwa yang diterangkan itu adalah seorang shahaby. Ini berarti bahwa pentazkiyahan (menganggap adil) dari seorang yang tsiqah, diterima.
e.      Pengakuan sendiri  seorang yang dianggap adil di zaman Rasulullah saw. pengakuan ini dianggap sah selama tidak lebih dari seratus tahun dari kewafatan Rasulullah saw. berdasarkan isyarat Rasulullah saw. dengan demikian, kalau ada orang yang mengaku sebagai sahabat yang pengakuannya  tersebut tidak dapat diterima.[3]
3.      Keadilan para sahabat
Kesahabatan merupakan status mulia yang memberikan keistimewaan kepada pemiliknya, yaitu bahwa seluruh sahabat menurut Ahlus Sunnah bersifat adil. Ada yang mengatakan, mereka senantiasa bersifat adil, sampai terjadinya silang  pendapat dan pertikaian di antara mereka. Maka setelah itu, keadilan mereka harus diteliti.[4]
Adapun menurut Jumhur ulama’ bahwa seluruh sahabat itu adalah adil, baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat. Keadilan dalam hal ini, yang dimaksud adalah keadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian.
Sebagian ulama’ yang lain berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain, yakni ada yang adil dan ada pula yang tidak adil. Golongan Mu’tazilah mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil selain mereka yang terlibat pada pembunuhan Khalifah r.a. Imam Nawawi mengatakan, bahwa pendapat jumhur itu telah menjadi Ijma’. Oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan penyelidikan keadilan sahabat, pendapat yang membedakan apakah terlibat daam fitnah pembunuhan atau tidak dan lain sebagainya, tidak perlu diperhatikan. Sebaiknya hendaklah berkhusnu’dhan (berperasangka baik) kepada mereka, agar terhindar dari dosa.[5]
4.      Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits
Ada 6 sahabat yang tergolong paling banyak meriwayatkan hadits, secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
1)      Abu Hurairah ra., beliau meriwayatkan 5.374 hadits dan lebih dari 300 perawi yang meriwayatkan hadits darinya.
2)      Ibnu Umar ra., beliau meriwayatkan 2.630 hadits.
3)      Anas bin Malik ra., beliau meriwayatkan 2.286 hadits.
4)      ‘Aisyah Ummu Al-Mu’minin ra., beliau meriwayatkan 2..210 hadits.
5)      Ibnu ‘Abbas ra., beliau meriwayatkan 1.660 hadits.
6)      Jabir bin Abdullah., beliau meriwayatkan 1.540 hadits.
5.      Sahabat yang paling banyak fatwanya.
Menurut masyruq, sahabat yang yang terkenal paling banyak fatwanya ada 7 orang, yakni:
1)      Abdullah bin Abbas ra.
2)      Umar bin Al-Khattab ra.
3)      Ali bin Abi Thalib ra.
4)      Ubay bin Ka’ab ra.
5)      Zaid bin Tsabit ra.
6)      Abu Darda’ ra.
7)      Ibnu Mas’ud ra.
6.      Sahabat yang mendapat gelar Abdullah
Sahabat yang memiliki nama depan “Abdullah”, sebenarnya berjumlah 300 orang. Di antara mereka yang benar-benar mendapat gelar Abdullah hanya 4 sahabat, yakni:
1)      Abdullah bin Umar ra.
2)      Abdullah bin Abbas ra.
3)      Abdullah bin Zubair ra.
4)      Abdullah bin ‘Amr bin Abbas ra.
Keistimewaannya, mereka termasuk ulama sahabat yang wafatnya belakangan, sehingga ilmunya bisa dipakai sebagai hujjah. Jika mereka bersepakat  tentang sesuatu dalam fatwanya maka populer dikatakan: ini adalah pendapat Abdillah.[6]
7.      Jumlah sahabat
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ka’ab ibn Malik bahwa sahabat Rasul berjumlah banyak. Dan tidak dapat dikumpulkan oleh suatu kitab. Di waktu Rasulullah wafat, sahabat beliau  terdiri atas 144.000 orang. Ada yang meriwayatkan hadits darinya dan turut berhaji wada’ bersamanya.[7] Jumlah yang pasti dari banyaknya sahabat masih belum diketahui, namun sebagian ulama’ berpendapat, lebih dari 100.000 orang. Pendapat yang peling terkenal adalah sebagaimana pernyataan Abu Zar’ah al-Razy
قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مائة ألف وأربعة عشر ألفا من الصحابة ممن روي عنه وسمع منه

“Rasulullah saw. wafat dengan meninggalkan 114.000 sahabat yang pernah mendengar dan meriwayatkan hadits dari beliau”.[8]
8.      Thabaqat al-shahabah
Al-Hakim al-Naisabury memerinci pembagian thabaqat al-sahabah berdasarkan penelitian yang dalam, tentang urutan keislaman dan keikutsertaan mereka dalam beberapa peperangan. Al-Hakim al-Naisabury membagi mereka menjadi 12 thabaqat.
1)      Thabaqat pertama adalah kaum yang masuk Islam di Makkah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
2)      Thabaqat kedua adalah para sahabat yang hadir di Dar al-Nadwah. Yakni ketika Umar masuk Islam dan menampakkan keislamannya, kemudian ia mengajak Rasulullah saw. ke Dar al-Nadwah, lalu beliau dibai’at oleh sejumlah penduduk Makkah.
3)      Thabaqat ketiga, para sahabat yang turut berhijrah ke Habasyah.
4)      Thabaqat keempat, para sahabat yang berbai’at kepada Nabi saw. di ‘Aqabah. Karena itu dipanggil dengan sebutan Fulanan ‘Aqabi’.
5)      Thabaqat kelima, para sahabat yang terlibat dalam bai’at di ‘Aqabah kedua yang mayoritasnya dari Anshar.
6)      Thabaqat keenam adalah para sahabat yang ikut hijrah ke Madinah di garis terdepan dan mereka bertemu dengan Rasulullah saw. ketika beliau masih di Quba dan membangun masjid di sana sebelum masuk ke kota Madinah.
7)      Thabaqat ketujuh adalah para  sahabat yang terlibat dalam perang Badar.
8)      Thabaqat kedelapan adalah orang-orang yang berhijrah setelah perang sebelum perdamaian Hudaibah.
9)      Thabaqat kesembilan adalah para sahabat yang terlibat dalam bai’at al-Ridlwan.
10)  Thabaqat kesepuluh adalah para sahabat yang berhijrah setelah perdamaian Hudaibah dan sebelum penaklukkan kota Makkah. Di antara mereka adalah Khalid bin al-Walid, Amr bin ‘ash, Abu Hurairah, dan masih banyak lagi.
11)  Thabaqat kesebelas adalah para sahabat yang masuk Islam ketika peneklukkan kota Makkah.
12)  Thabaqat kedua belas adalah anak-anak yang melihat Rasulullah saw. ketika penaklukkan kota Makkah dan ketika haji wada’ serta kesempatan lain. Mereka semua termasuk sahabat.

Ada sebagian lain yang  membagi klasifikasi sahabat secara global menjadi tiga thabaqat.
a)      Thabaqat sahabat senior, seperti sepuluh orangsahabat yang dijanjikan masuk surga dan para pemeluk Islam terdahulu yang satu thabaqat dengan mereka.
b)      Thabaqat sahabat penengah.
c)      Thabaqat sahabat junior yang masuk Islam belakangan atau mereka masih kecil pada zaman Rasulullah saw.[9]

9.      Sahabat yang paling utama
1)      Para sahabat, tabi’in dan fuqaha’ telah sepakat bahwa sahabat yang paling utama, secara mutlak, ialah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Penetapan tersebut, berdasarkan petunjuk-petunjuk beberapa hadits yang menjelaskan nama beliau, dengan sebutan “ash-shiddiq”. Bahkan Allah sendiri pun mengabadikan nama beliau dengan nama ash-shiddiq pula.
2)      Kemudian setelah Abu Bakar ra., sahabat yang lebih utama ialah Amirul Mukminin; Umar bin Khattab ra., Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Adapun mengenai siapakah yang lebih utama setelah ‘Umar ra. apakah Utsman atau Ali diperselisihkan oleh para Ulama’. Jumhur ‘ulama’ termasuk imam Syafi’I, Ahmad dan Malik, menetapkan Utsman-lah yang lebih utama.
3)      Kemudian sepuluh orang sahabat yang digembirakan dengan jaminan surga, selain empat khulafaur rasyidin.
4)      Para sahabat yang mengikuti perang Badar kubra yang mana mereka berjumlah 313 orang.
5)      Para sahabat yang mengikuti perang Uhud.
6)      Para sahabat yang menghadiri Bai’atu al-Ridlwan di Hudaibiyah.
7)      Assabiqunal Awwalun. Yakni orang-orang yang pertama masuk Islam.[10]

10.  Sahabat yang pertama-tama masuk Islam
1)      Dari golongan laki-laki dewasa dan merdeka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
2)      Dari golongan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib ra.
3)      Dari golongan perempuan adalah Khadijah ra.
4)      Dari golongan budak (mawaly) adalah Zaid bin Haritsah.
5)      Dari golongan hamba sahaya adalah Bilal bin Rabbah ra.[11]
11.  Sahabat yang paling akhir wafatnya
Seluruh ulama’ sepakat bahwa sahabat yang paling terakhir wafatnya ialah Abu Thufail Amr Wasilah al-Laitsy. Demikianlah pendapat Muslim, Al-Mizzy dan ibnu Mandah. Abu Thufail wafat di Makkah pada tahun 100 H. ada yang mengatakan 102 H. ada pula yang mengatakan 107 H. dialah sahabat yang wafat paling terakhir di Makkah.
12.  Ulama’ yang mula-mula menyusun kitab tentang sejarah sahabat
Yang mula-mula bergerak dalam bidang ini ialah Abu Abdullah al-Bukhary, penyusun kitab ash-Shahih. Sesudahnya, barulah didikuti  beberapa tokoh lain, seperti Ibnu Hibban, Abu Musa al-Madiny, Abu Nu’aim, al-Askari, Ibnu Abdi al-Barr dan Ibnu al-Atsir. Kitab beliau inilah yang paling terkenal dalam bidang ini, yang dinamai Usd al-Ghabah. Sesudah al-Hafidz Ibnu Hajar datang, maka beliau mengumpulkan segala yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu dalam sebuah koleksi yang dinamai al-Ishabah. Kitab ini diringkas oleh as-Suyuty dalam kitab ‘Ain al-Ishabah.[12]
TABI’IY
1.      Ta’rif tabi’iy
Menurut bahasa al-tabi’uun bentuk jama’ dari kata taabi’iy atau tabi’uun, sedangkata taabi’ bentuk isim fa’il dari kata tabi’a yang berarti: “berjalan di belakangnya”.
Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan Islam dan wafat juga dalam keadaan Islam. Sebagian berpendapat, tabi’in adalah orang yang pernah bergaul dengan sahabat.[13] Tabi’iy pada asalnya berarti pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in adalah seluruh orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu dengan Nabi saw. Dan tidak pula semasa dengan Nabi saw. Seorang dari tabi’in disebut tabi’iy atau tabi’.
Ibnu Hajar berkata:
التابعي من لقي الصحابي مؤمنا بالاسلام
tabi’iy itu orang yang menjumpai shahaby dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan Islam.” [14]
2.      Tingkatan-tingkatan tabi’in dan faedah mengetahui tabi’in
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan tingkatan tabi’in, yakni:
1)      Imam muslim membagi menjadi 3 tingkatan.
2)      Ibnu Sa’ad embagi menjadi 4 tingkatan.
3)      Al-Hakim membagi menjadi 15 tingkatan, yang utama di antaranya adalah tabi’in yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Adapun faedah mengetahui para tabi’in berguna untuk mengetahui hadits muttashil dan hadits mursal.
3.      Jumlah tabi’in dan thabaqat-thabaqatnya
Jumlah tabi’in tak terhitung, karena setiap yang melihat sahabat masuk dalam kategori tabi’in. Padahal, Nabi saw. wafat meninggalkan lebih dari seratus ribu sahabat yang menyebar ke berbagai kawasan dan dilihat oleh beribu-ribu orang.
Adapun thabaqaatnya tabi’in terdiri dari beberapa tingkat. Al-Hakim an-Naisabury menjadikan 15 tingkatan untuk tabi’in. Yang terakhir mereka yang bertemu Anas bin Malik dari kalangan Basrah, warga Kufah yang dengan Abdullah Ibn Abu Aufa, warga Madinah yang bertemu dengan as-sa’ib ibn Yazid, warga Mesir yang bertemu dengan Abdullah ibn-Harits ibn al-juz’ dan warga Syam yang bertemu dengan Abu Umamah al-Bahiliy.
Para imam sependapat bahwa akhir masa tabi’in adalah tahun 150 H dan tahun 220 H merupakan akhir masa atba’ at-tabi’in.[15]
4.      Tabi’in yang paling utama serta karya yang paling populer dibidang ilmu tabi’in
Ada beberapa pendapat ulama’ tentang tabi’in yang paling utama. Pendapat paling masyhur menyatakan, bahwa Sa’id bin Musayyab adalah tabi’in yang paling utama. Abu Abdillah Muhammad bin Khatif al-Syairazi menjelaskan:
1)      Ahli Madinah mengatakan bahwa tabi’in yang utama adalah Sa’id bin Musayyab.
2)      Ahli Kufah mengatakan Uwais al-Qarny.
3)      Ahli Basrah mengatakan Hasan al-Bashriy.
          Di kalangan tabi’in wanita adalah Hafsah binti Sirin dan Umarah binti Abdurrahman, dan yang mendekati keduanya adalah Ummu al-Darda’. Adapun kitab yang paling populer adalah kitab Ma’rifah al-Tabi’in, karya Abu al-Muthraf bin Fathis al-Andalusy. [16]
ATBA’ AL-TABI’IN
1.      Ta’rif atba’ al-tabi’in
Berdasarkan pembahasan yang lalu, dapatlah kita ungkapkan definisi atba’ al-tabi’in sebagai berikut.

تابع التابعي هو من شافه التابعي مؤمنا بالنبي صلى الله عليه وسلم

Tabi’ al-tabi’in adalah orang yang bermusyafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rasulullah saw.”
Al-Hakim menjelaskan manfaat cabang ilmu hadits ini dengan memberi beberapa contoh.
“Apabila terjadi kesalahan oleh orang yang tidak mengenal mereka, maka kesalahannya akan besar apabila ia memasukkan mereka ke dalam thabaqat keempat atau tidak dapat membedakan sehingga memasukkan sebagian mereka sebagai tabi’in. Rasulullah saw. telah menyebut-nyebut mereka, inilah posisi atba’ al-tabi’i. Rasulullah saw. menempatkan mereka sebagai manusia terbaik setelah sahabat dan tabi’in yang terpilih. Mereka adalah thabaqaat ketiga setelah Nabi saw. di tengah –tengah mereka terdapat sejumlah imam umat Islam dan para fuqaha’ seperti: Malik bin Anas al-Ashbahi, Abdurrahman bin Amr al-Auza’i, dan lain-lain.
2.      Sumber untuk mengetahui atba’ al-tabi’in
Di antara sumber untuk mengetahui para rawi dari kalangan tabi’in dan atba’ al-tabi’in adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan thabaqaat, seperti thabaqaat Ibn Sa’d, thabaqaat  khalifah bin khayyath, al-tsiqah karya al-Dzahabi, dan Tadzkiraat al-huffadz karya al-Dzahabi.[17]


C.      KESIMPULAN
1.      al-shahabah adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. dalam keadaan Islam dan selanjutnya mati juga dalam keadaan Islam, walaupun pernah murtad. Demikian menurut pendapat yang shahih.
2.      tabi’in adalah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan Islam dan wafat juga dalam keadaan Islam. Sebagian berpendapat, tabi’in adalah orang yang pernah bergaul dengan sahabat.
3.      Tabi’ al-tabi’in adalah orang yang bermusyafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rasulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA
‘itr, Nuruddin. 2014 ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Rahman,Fathur. 2010 Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits.  Bandung: PT Al-Ma’arif.


Thahhah, Mahmud. 2006 Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan .Malang.


Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad. 2012Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits . Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.


‘Ajjaj Al-Khatib, Muhammad. 2013 Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq.  Jakarta: Gaya Media Pratama.




[1] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.213
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm 206.
[3] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm 284-285.
[4] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm.382.
[5]Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm. 285-286.
[6] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006),Hlm.215.
[7] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), Hlm.210.
[8]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006),Hlm.216
[9] Nuruddin ‘itr, ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.112-113.
[10] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm.286-288.
[11] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.216-217
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm.214.
[13] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm. 217.
[14]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012),  Hlm.217.
[15] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm.401-402.
[16] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.218-219.
[17] Nuruddin ‘itr, ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 144-145.