Jumat, 06 Mei 2016

ulumul hadits (sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in)

A.      PENDAHULUAN
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional, disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai madzab Islam, sebagai sumber ajaran Islam, karena dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci dan spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadits pada awalnya tidak ditulis, penyampaian dan penyimpanannya masih bersifat oral (mulut ke mulut), hal tersebut membuat penghafal hadits sangatlah penting untuk diteliti, karena hadits yang ada sekarang ini berpegangan pada hafalan sahabat-sahabat nabi. Dalam hal penelitian tersebut, tidaklah berhenti di thabaqaat sahabat saja, namun harus meneliti perawi-perawi selanjutnya, karena mereka adalah sebagai jalur sanad yang menyampaikan hadits sampai kepada kita.
Adapun cara kita mengetahui itu semua, kita harus mengerti dan paham mengenai sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabiin, karena mereka adalah rantai sanad yang menghubungkan kita dengan nabi. Oleh karena itu dalam makalah ini, akan dijelaskan mengenai sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
B.      PEMBAHASAN
SAHABAT
1.      Ta’rif sahabat
Menurut bahasa al-shahabah adalah bentuk mashdar yang berarti: al-shuhbah (seorang teman). Sebagian mengatakan searti dengan kata al-shahabiy, al-shahih, yang banyak dipakai adalah kata al-shahabah yang berati: al-ashaab.
Menurut istilah, al-shahabah adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. dalam keadaan Islam dan selanjutnya mati juga dalam keadaan Islam, walaupun pernah murtad. Demikian menurut pendapat yang shahih.[1]
Adapun menurut Jumhur ahli hadits ialah:
من لقي النبي مؤمنا به ومات على الاسلام
Artinya:
          “Orang yang bertemu dengan nabi, ia beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam, (di masa Nabi masih hidup).
         
          Orang yang bertemu dengan Nabi saw., namun dia belum memeluk agama Islam, tidak dipandang sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang semasa dengan Nabi saw. dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti An-Najasi (Raja Habsy) atau menjumpai Nabi saw. setelah Nabi  saw. wafat, seperti Abu Dzuaib.
          Termasuk sahabat, jika dia tetap dalam keadaan beriman, sehingga dia wafat. Jika dia murtad sesudah dia dijuluki dengan “sahabt”, hilanglah kesahabatannya, sehingga dia kembali beriman. Jika dia meninggal dalam kekafiran seperti Abdullah ibn Jahasy, maka hilanglah kesahabatannya itu.
          Ditekankan oleh Al-Hafidz bahwa pendapat yang paling shahih ialah “shahaby” hanyalah orang yang berjumpa dengan Nabi saw. dalam kedaan dia beriman, dan meninggal dalam keadaan Islam, bail dia bergaul lama dengan Nabi saw. atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi saw. atau tidak, baik dia dapat melihat Nabi saw., tetapi tidak semajelis dengan Nabi sa. Atau tidak dapat melihat Nabi saw. karena buta.
Menurut Utsman ibn Shalih bahwa yang dikatakan shahaby ialah orang yang menemui masa Nabi saw., walaupun tidak dapat melihat Nabi saw. dan memeluk Islam semasa Nabi saw. masih hidup. Al-Jahid berpendapat bahwa shahaby ialah orang yang berjumpa dengan Nabi saw., lama pula persahabatannya dan juga meriwayatkan hadits beliau.[2]
2.      Cara untuk mengetahui sahabat
Untuk bisa mengetahui seseorang yang termasuk golongan sahabat ialah dengan menggunakan salah satu cara dari lima ketentuan di bawah ini :
a.      Ditentukan oleh khabar-mutawatir, seperti penetapan terhadap khulafa’ur-rasyidin dan lain-lainnya.
b.      Ditetapkan oleh khabar-masyhur, seperti kesahabatan Dlamam bin Tsa’labah dan ‘Ukasyah.
c.       Diberitakan oleh sahabat yang lain seperti kesahabatan Hamamah bin Hamamah Ad-Dausy, yang meinggal di Isfahan. Menurut pemberitaan dari Abu Musa Al-Asy’ary, bahwa Hamamah pernah mendengar hadits dari Nabi saw. hal ini menjadi bukti, bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
d.      Keterangan seorang tabi’iy yang tsiqah,  bahwa yang diterangkan itu adalah seorang shahaby. Ini berarti bahwa pentazkiyahan (menganggap adil) dari seorang yang tsiqah, diterima.
e.      Pengakuan sendiri  seorang yang dianggap adil di zaman Rasulullah saw. pengakuan ini dianggap sah selama tidak lebih dari seratus tahun dari kewafatan Rasulullah saw. berdasarkan isyarat Rasulullah saw. dengan demikian, kalau ada orang yang mengaku sebagai sahabat yang pengakuannya  tersebut tidak dapat diterima.[3]
3.      Keadilan para sahabat
Kesahabatan merupakan status mulia yang memberikan keistimewaan kepada pemiliknya, yaitu bahwa seluruh sahabat menurut Ahlus Sunnah bersifat adil. Ada yang mengatakan, mereka senantiasa bersifat adil, sampai terjadinya silang  pendapat dan pertikaian di antara mereka. Maka setelah itu, keadilan mereka harus diteliti.[4]
Adapun menurut Jumhur ulama’ bahwa seluruh sahabat itu adalah adil, baik mereka yang terlibat fitnah pembunuhan, maupun yang tidak terlibat. Keadilan dalam hal ini, yang dimaksud adalah keadilan dalam periwayatan hadits, bukan keadilan dalam soal persaksian.
Sebagian ulama’ yang lain berpendapat, bahwa keadaan sahabat itu tidak berbeda dengan keadaan orang lain, yakni ada yang adil dan ada pula yang tidak adil. Golongan Mu’tazilah mengatakan, bahwa seluruh sahabat itu adil selain mereka yang terlibat pada pembunuhan Khalifah r.a. Imam Nawawi mengatakan, bahwa pendapat jumhur itu telah menjadi Ijma’. Oleh karena itu, pendapat yang mengharuskan penyelidikan keadilan sahabat, pendapat yang membedakan apakah terlibat daam fitnah pembunuhan atau tidak dan lain sebagainya, tidak perlu diperhatikan. Sebaiknya hendaklah berkhusnu’dhan (berperasangka baik) kepada mereka, agar terhindar dari dosa.[5]
4.      Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits
Ada 6 sahabat yang tergolong paling banyak meriwayatkan hadits, secara berturut-turut adalah sebagai berikut:
1)      Abu Hurairah ra., beliau meriwayatkan 5.374 hadits dan lebih dari 300 perawi yang meriwayatkan hadits darinya.
2)      Ibnu Umar ra., beliau meriwayatkan 2.630 hadits.
3)      Anas bin Malik ra., beliau meriwayatkan 2.286 hadits.
4)      ‘Aisyah Ummu Al-Mu’minin ra., beliau meriwayatkan 2..210 hadits.
5)      Ibnu ‘Abbas ra., beliau meriwayatkan 1.660 hadits.
6)      Jabir bin Abdullah., beliau meriwayatkan 1.540 hadits.
5.      Sahabat yang paling banyak fatwanya.
Menurut masyruq, sahabat yang yang terkenal paling banyak fatwanya ada 7 orang, yakni:
1)      Abdullah bin Abbas ra.
2)      Umar bin Al-Khattab ra.
3)      Ali bin Abi Thalib ra.
4)      Ubay bin Ka’ab ra.
5)      Zaid bin Tsabit ra.
6)      Abu Darda’ ra.
7)      Ibnu Mas’ud ra.
6.      Sahabat yang mendapat gelar Abdullah
Sahabat yang memiliki nama depan “Abdullah”, sebenarnya berjumlah 300 orang. Di antara mereka yang benar-benar mendapat gelar Abdullah hanya 4 sahabat, yakni:
1)      Abdullah bin Umar ra.
2)      Abdullah bin Abbas ra.
3)      Abdullah bin Zubair ra.
4)      Abdullah bin ‘Amr bin Abbas ra.
Keistimewaannya, mereka termasuk ulama sahabat yang wafatnya belakangan, sehingga ilmunya bisa dipakai sebagai hujjah. Jika mereka bersepakat  tentang sesuatu dalam fatwanya maka populer dikatakan: ini adalah pendapat Abdillah.[6]
7.      Jumlah sahabat
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ka’ab ibn Malik bahwa sahabat Rasul berjumlah banyak. Dan tidak dapat dikumpulkan oleh suatu kitab. Di waktu Rasulullah wafat, sahabat beliau  terdiri atas 144.000 orang. Ada yang meriwayatkan hadits darinya dan turut berhaji wada’ bersamanya.[7] Jumlah yang pasti dari banyaknya sahabat masih belum diketahui, namun sebagian ulama’ berpendapat, lebih dari 100.000 orang. Pendapat yang peling terkenal adalah sebagaimana pernyataan Abu Zar’ah al-Razy
قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مائة ألف وأربعة عشر ألفا من الصحابة ممن روي عنه وسمع منه

“Rasulullah saw. wafat dengan meninggalkan 114.000 sahabat yang pernah mendengar dan meriwayatkan hadits dari beliau”.[8]
8.      Thabaqat al-shahabah
Al-Hakim al-Naisabury memerinci pembagian thabaqat al-sahabah berdasarkan penelitian yang dalam, tentang urutan keislaman dan keikutsertaan mereka dalam beberapa peperangan. Al-Hakim al-Naisabury membagi mereka menjadi 12 thabaqat.
1)      Thabaqat pertama adalah kaum yang masuk Islam di Makkah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
2)      Thabaqat kedua adalah para sahabat yang hadir di Dar al-Nadwah. Yakni ketika Umar masuk Islam dan menampakkan keislamannya, kemudian ia mengajak Rasulullah saw. ke Dar al-Nadwah, lalu beliau dibai’at oleh sejumlah penduduk Makkah.
3)      Thabaqat ketiga, para sahabat yang turut berhijrah ke Habasyah.
4)      Thabaqat keempat, para sahabat yang berbai’at kepada Nabi saw. di ‘Aqabah. Karena itu dipanggil dengan sebutan Fulanan ‘Aqabi’.
5)      Thabaqat kelima, para sahabat yang terlibat dalam bai’at di ‘Aqabah kedua yang mayoritasnya dari Anshar.
6)      Thabaqat keenam adalah para sahabat yang ikut hijrah ke Madinah di garis terdepan dan mereka bertemu dengan Rasulullah saw. ketika beliau masih di Quba dan membangun masjid di sana sebelum masuk ke kota Madinah.
7)      Thabaqat ketujuh adalah para  sahabat yang terlibat dalam perang Badar.
8)      Thabaqat kedelapan adalah orang-orang yang berhijrah setelah perang sebelum perdamaian Hudaibah.
9)      Thabaqat kesembilan adalah para sahabat yang terlibat dalam bai’at al-Ridlwan.
10)  Thabaqat kesepuluh adalah para sahabat yang berhijrah setelah perdamaian Hudaibah dan sebelum penaklukkan kota Makkah. Di antara mereka adalah Khalid bin al-Walid, Amr bin ‘ash, Abu Hurairah, dan masih banyak lagi.
11)  Thabaqat kesebelas adalah para sahabat yang masuk Islam ketika peneklukkan kota Makkah.
12)  Thabaqat kedua belas adalah anak-anak yang melihat Rasulullah saw. ketika penaklukkan kota Makkah dan ketika haji wada’ serta kesempatan lain. Mereka semua termasuk sahabat.

Ada sebagian lain yang  membagi klasifikasi sahabat secara global menjadi tiga thabaqat.
a)      Thabaqat sahabat senior, seperti sepuluh orangsahabat yang dijanjikan masuk surga dan para pemeluk Islam terdahulu yang satu thabaqat dengan mereka.
b)      Thabaqat sahabat penengah.
c)      Thabaqat sahabat junior yang masuk Islam belakangan atau mereka masih kecil pada zaman Rasulullah saw.[9]

9.      Sahabat yang paling utama
1)      Para sahabat, tabi’in dan fuqaha’ telah sepakat bahwa sahabat yang paling utama, secara mutlak, ialah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Penetapan tersebut, berdasarkan petunjuk-petunjuk beberapa hadits yang menjelaskan nama beliau, dengan sebutan “ash-shiddiq”. Bahkan Allah sendiri pun mengabadikan nama beliau dengan nama ash-shiddiq pula.
2)      Kemudian setelah Abu Bakar ra., sahabat yang lebih utama ialah Amirul Mukminin; Umar bin Khattab ra., Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Adapun mengenai siapakah yang lebih utama setelah ‘Umar ra. apakah Utsman atau Ali diperselisihkan oleh para Ulama’. Jumhur ‘ulama’ termasuk imam Syafi’I, Ahmad dan Malik, menetapkan Utsman-lah yang lebih utama.
3)      Kemudian sepuluh orang sahabat yang digembirakan dengan jaminan surga, selain empat khulafaur rasyidin.
4)      Para sahabat yang mengikuti perang Badar kubra yang mana mereka berjumlah 313 orang.
5)      Para sahabat yang mengikuti perang Uhud.
6)      Para sahabat yang menghadiri Bai’atu al-Ridlwan di Hudaibiyah.
7)      Assabiqunal Awwalun. Yakni orang-orang yang pertama masuk Islam.[10]

10.  Sahabat yang pertama-tama masuk Islam
1)      Dari golongan laki-laki dewasa dan merdeka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
2)      Dari golongan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib ra.
3)      Dari golongan perempuan adalah Khadijah ra.
4)      Dari golongan budak (mawaly) adalah Zaid bin Haritsah.
5)      Dari golongan hamba sahaya adalah Bilal bin Rabbah ra.[11]
11.  Sahabat yang paling akhir wafatnya
Seluruh ulama’ sepakat bahwa sahabat yang paling terakhir wafatnya ialah Abu Thufail Amr Wasilah al-Laitsy. Demikianlah pendapat Muslim, Al-Mizzy dan ibnu Mandah. Abu Thufail wafat di Makkah pada tahun 100 H. ada yang mengatakan 102 H. ada pula yang mengatakan 107 H. dialah sahabat yang wafat paling terakhir di Makkah.
12.  Ulama’ yang mula-mula menyusun kitab tentang sejarah sahabat
Yang mula-mula bergerak dalam bidang ini ialah Abu Abdullah al-Bukhary, penyusun kitab ash-Shahih. Sesudahnya, barulah didikuti  beberapa tokoh lain, seperti Ibnu Hibban, Abu Musa al-Madiny, Abu Nu’aim, al-Askari, Ibnu Abdi al-Barr dan Ibnu al-Atsir. Kitab beliau inilah yang paling terkenal dalam bidang ini, yang dinamai Usd al-Ghabah. Sesudah al-Hafidz Ibnu Hajar datang, maka beliau mengumpulkan segala yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu dalam sebuah koleksi yang dinamai al-Ishabah. Kitab ini diringkas oleh as-Suyuty dalam kitab ‘Ain al-Ishabah.[12]
TABI’IY
1.      Ta’rif tabi’iy
Menurut bahasa al-tabi’uun bentuk jama’ dari kata taabi’iy atau tabi’uun, sedangkata taabi’ bentuk isim fa’il dari kata tabi’a yang berarti: “berjalan di belakangnya”.
Menurut istilah, tabi’in adalah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan Islam dan wafat juga dalam keadaan Islam. Sebagian berpendapat, tabi’in adalah orang yang pernah bergaul dengan sahabat.[13] Tabi’iy pada asalnya berarti pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in adalah seluruh orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu dengan Nabi saw. Dan tidak pula semasa dengan Nabi saw. Seorang dari tabi’in disebut tabi’iy atau tabi’.
Ibnu Hajar berkata:
التابعي من لقي الصحابي مؤمنا بالاسلام
tabi’iy itu orang yang menjumpai shahaby dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan Islam.” [14]
2.      Tingkatan-tingkatan tabi’in dan faedah mengetahui tabi’in
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan tingkatan tabi’in, yakni:
1)      Imam muslim membagi menjadi 3 tingkatan.
2)      Ibnu Sa’ad embagi menjadi 4 tingkatan.
3)      Al-Hakim membagi menjadi 15 tingkatan, yang utama di antaranya adalah tabi’in yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Adapun faedah mengetahui para tabi’in berguna untuk mengetahui hadits muttashil dan hadits mursal.
3.      Jumlah tabi’in dan thabaqat-thabaqatnya
Jumlah tabi’in tak terhitung, karena setiap yang melihat sahabat masuk dalam kategori tabi’in. Padahal, Nabi saw. wafat meninggalkan lebih dari seratus ribu sahabat yang menyebar ke berbagai kawasan dan dilihat oleh beribu-ribu orang.
Adapun thabaqaatnya tabi’in terdiri dari beberapa tingkat. Al-Hakim an-Naisabury menjadikan 15 tingkatan untuk tabi’in. Yang terakhir mereka yang bertemu Anas bin Malik dari kalangan Basrah, warga Kufah yang dengan Abdullah Ibn Abu Aufa, warga Madinah yang bertemu dengan as-sa’ib ibn Yazid, warga Mesir yang bertemu dengan Abdullah ibn-Harits ibn al-juz’ dan warga Syam yang bertemu dengan Abu Umamah al-Bahiliy.
Para imam sependapat bahwa akhir masa tabi’in adalah tahun 150 H dan tahun 220 H merupakan akhir masa atba’ at-tabi’in.[15]
4.      Tabi’in yang paling utama serta karya yang paling populer dibidang ilmu tabi’in
Ada beberapa pendapat ulama’ tentang tabi’in yang paling utama. Pendapat paling masyhur menyatakan, bahwa Sa’id bin Musayyab adalah tabi’in yang paling utama. Abu Abdillah Muhammad bin Khatif al-Syairazi menjelaskan:
1)      Ahli Madinah mengatakan bahwa tabi’in yang utama adalah Sa’id bin Musayyab.
2)      Ahli Kufah mengatakan Uwais al-Qarny.
3)      Ahli Basrah mengatakan Hasan al-Bashriy.
          Di kalangan tabi’in wanita adalah Hafsah binti Sirin dan Umarah binti Abdurrahman, dan yang mendekati keduanya adalah Ummu al-Darda’. Adapun kitab yang paling populer adalah kitab Ma’rifah al-Tabi’in, karya Abu al-Muthraf bin Fathis al-Andalusy. [16]
ATBA’ AL-TABI’IN
1.      Ta’rif atba’ al-tabi’in
Berdasarkan pembahasan yang lalu, dapatlah kita ungkapkan definisi atba’ al-tabi’in sebagai berikut.

تابع التابعي هو من شافه التابعي مؤمنا بالنبي صلى الله عليه وسلم

Tabi’ al-tabi’in adalah orang yang bermusyafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rasulullah saw.”
Al-Hakim menjelaskan manfaat cabang ilmu hadits ini dengan memberi beberapa contoh.
“Apabila terjadi kesalahan oleh orang yang tidak mengenal mereka, maka kesalahannya akan besar apabila ia memasukkan mereka ke dalam thabaqat keempat atau tidak dapat membedakan sehingga memasukkan sebagian mereka sebagai tabi’in. Rasulullah saw. telah menyebut-nyebut mereka, inilah posisi atba’ al-tabi’i. Rasulullah saw. menempatkan mereka sebagai manusia terbaik setelah sahabat dan tabi’in yang terpilih. Mereka adalah thabaqaat ketiga setelah Nabi saw. di tengah –tengah mereka terdapat sejumlah imam umat Islam dan para fuqaha’ seperti: Malik bin Anas al-Ashbahi, Abdurrahman bin Amr al-Auza’i, dan lain-lain.
2.      Sumber untuk mengetahui atba’ al-tabi’in
Di antara sumber untuk mengetahui para rawi dari kalangan tabi’in dan atba’ al-tabi’in adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan thabaqaat, seperti thabaqaat Ibn Sa’d, thabaqaat  khalifah bin khayyath, al-tsiqah karya al-Dzahabi, dan Tadzkiraat al-huffadz karya al-Dzahabi.[17]


C.      KESIMPULAN
1.      al-shahabah adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. dalam keadaan Islam dan selanjutnya mati juga dalam keadaan Islam, walaupun pernah murtad. Demikian menurut pendapat yang shahih.
2.      tabi’in adalah orang yang pernah bertemu sahabat dalam keadaan Islam dan wafat juga dalam keadaan Islam. Sebagian berpendapat, tabi’in adalah orang yang pernah bergaul dengan sahabat.
3.      Tabi’ al-tabi’in adalah orang yang bermusyafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rasulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA
‘itr, Nuruddin. 2014 ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Rahman,Fathur. 2010 Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits.  Bandung: PT Al-Ma’arif.


Thahhah, Mahmud. 2006 Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan .Malang.


Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad. 2012Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits . Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.


‘Ajjaj Al-Khatib, Muhammad. 2013 Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq.  Jakarta: Gaya Media Pratama.




[1] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.213
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm 206.
[3] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm 284-285.
[4] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm.382.
[5]Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm. 285-286.
[6] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006),Hlm.215.
[7] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), Hlm.210.
[8]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006),Hlm.216
[9] Nuruddin ‘itr, ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.112-113.
[10] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushtalah Al-Hadits  (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2010), hlm.286-288.
[11] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.216-217
[12] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm.214.
[13] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm. 217.
[14]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2012),  Hlm.217.
[15] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits), terj. Qodimun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm.401-402.
[16] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits, terj.  Muhtadi Ridwan (Malang: 2006), hlm.218-219.
[17] Nuruddin ‘itr, ‘Ulumul Hadits,terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 144-145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar